Sore itu aku sedang duduk – duduk di atas
rerumputan di samping rumah pastoran di Takwa Parish. Seorang anak
mendatangiku. Dia lalu duduk diam – diam di dekatku. Tanpa kata. Dari dalam
benakku, timbul ide kreatif. Kuminta dia memanjat punggungku, berdiri di
pundakku, lalu melompat ke depan. Sekali dia sukses melakukannya, dia kepingin
lagi melakukannya. Pada kali ke tiga, ada banyak anak muncul dan berdatangan
dari balik semak – semak, lalu berebut naik ke pundakku. Oh, rupanya mereka
sudah sejak tadi menguntitku dan mencoba mendekatiku. Sampai cukup lama mereka
bergantian bermain “memanjat dan melompat”.
Pada kesempatan lain, di Tulagi, aku
memperkenalkan kepada anak – anak kampung permainan suara yang diproduksi oleh
kombinasi antara tepuk tangan dan suara mulut. Dari situ, mereka bisa membentuk
semacam grup yang menghasilkan bunyi konser yang indah. Di malam hari,
penerangan lampu minyak menginspirasiku untuk memperkenalkan permainan bentuk –
bentuk binatang yang dihasilkan oleh bayang – bayang dari kedua tangan. Itu
semua adalah permainan masa kecilku. Permainan yang murah dan menggunakan apa
saja yang ada di lingkungan sekitar kita.
Bagiku, rasanya indah turut merasakan
kegembiraan anak – anak kampung. Kegembiraan mereka menjadi dambaan bagi setiap
anak yang dari sendirinya mesti mengalami masa bermain. Mereka penuh dengan
imajinasi sehingga apa pun bisa menjadi bahan permainan mereka. Segala
permainan baru akan menarik perhatian. Mereka tidak terikat oleh fasilitas –
fasilitas tertentu karena apa pun yang berada di alam bisa menjadi bahan
permainan. Dunia mereka adalah dunia bebas yang menggembirakan untuk bermain.
Dunia kampung, lebih dari itu, masih memberi kemungkinan bagi mereka untuk
bersosialisasi dengan teman – teman sepermainan. Inilah kesederhanaan dunia
anak – anak kampung di Solomon.
Bagiku menyenangkan berada dalam
kesederhanaan dunia kampung. Sejauh pengalamanku di Solomon, orang – orang
kampung tidak pernah bertanya tentang gelar akademis, karier, atau jabatan
tertentu. Hal yang mengesankanku setiap kali aku bertemu seseorang di Tulagi,
misalnya, adalah pertanyaan: “Yu hao? Yu
olrait?” (Bagaimana keadaanmu? Baik – baikkah?). Mereka tidak bertanya
apakah hari itu aku sukses atau tidak dengan rencana – rencanaku. Tapi, mereka
bertanya tentang keadaanku, gembira atau sedih, sehat atau sakit. Inilah
pertanyaan yang diajukan sebelum terjadi percakapan – percakapan atau
pembicaraan berikutnya. Yang sejauh kupahami, ini bukan pertanyaan sekedar basa
– basi, melainkan lebih dari itu yaitu sebagai tanda perhatian dan
persahabatan. Aku masih ingat, beberapa orang dari beberapa kampung yang
kukunjungi merasa gembira dan bangga karena aku, yang notabene adalah orang
asing, mau duduk dan mengobrol dengan mereka, berbagi ceritera tentang pelbagai
hal. Sesederhana itukah? Ya, memang sesederhana itu. Sebab, dunia kampung
adalah dunia yang penuh dengan kesederhanaan.
Sesungguhnya, secara fisik, amatlah gampang
melihat kesederhanaan orang kampung di Solomon. Dari cara berpakaian, mereka
tidak pernah berpikir soal penampilan yang bagus. Rata – rata orang kampung di
Solomon memiliki sedikit sekali pakaian yang bagus. Dalam keseharian, mereka
berpakaian seadanya. Bahkan satu baju bisa dipakai beberapa hari untuk kegiatan
apa saja, termasuk untuk tidur. Dari cara hidup, orang kampung amatlah
bersahaja. Di pagi hari, mereka pergi ke ladang. Siang pulang. Lalu bertukang
atau berburu ke hutan. Bagi yang tinggal di tepi pantai, mereka pergi mencari
ikan di laut pada malam hari. Dalam rutinitas hidup yang sederhana semacam itu,
orang kampung masih amat menjunjung tinggi tradisi yang menghormati orang tua
dan sanak saudara laki – laki, yang menghargai kebersamaan dan solidaritas, dan
yang menjaga keutuhan keluarga (di kampung – kampung di Solomon, kasus
perceraian hampir tidak ada). Di kampung – kampung di Solomon, sanak keluarga
biasa saling merawat atau mengadopsi anak – anak sanak famili mereka. Keluarga
yang lebih mampu secara ekonomis otomatis akan membantu sanak keluarga yang
masih miskin sebagai ungkapan rasa solidaritas.
Dalam kesederhanaan dunia kampung di
Solomon, aku belajar bahwa kegembiraan hidup bukanlah didasarkan pada apa – apa
yang telah dimiliki dan dicapai oleh seseorang (pada hal – hal di luar dirinya)
melainkan pada bagaimana dia melewatkan waktu – waktu dalam hidupnya untuk
menemukan dirinya dalam kebersamaan dan solidaritas bersama orang lain. Yang
dijunjung tinggi adalah nilai kebersamaan, solidaritas, dan kepekaan. Inilah
kekayaan nilai yang kupelajari yang terkandung dalam kesederhanan anak – anak
dan orang kampung di Solomon.
Rm.
Emanuel Prasetyono CM, Misionaris di Solomon Island thn. 2007-2009
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio No.38, Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar