Kemarin
malam aku dan Mas Heru, seorang relawan sanggar, berkunjung ke rumah Diana dan
Anisa, adik-adik dampingan kami. Mereka berdua sama – sama sedang mengalami
cedera kaki. Diana kakinya terluka akibat jatuh dari sepeda motor gara-gara
saat berboncengan, sepeda motornya nyungsep ke got. Anisa kakinya
terkilir dan bengkak gara-gara terjatuh dari mobil yang ditumpangi saat sedang mbonek
bersama teman-temannya.
Sebenarnya
kami sudah berencana mengunjungi mereka dua hari yang lalu, namun karena hujan
terus mengguyur maka kami sepakat menunda keesokan harinya, yaitu kemarin
malam.
Saat
aku sedang dalam perjalanan menuju sanggar untuk bertemu Mas Heru, hujanpun
tiba-tiba turun. Namun aku bertekad untuk tidak membatalkan niatku dan tetap
melanjutkan perjalanan. Akhirnya setelah menunggu di sanggar selama beberapa
saat, kami memutuskan untuk tetap berangkat mengunjungi Diana & Anisa.
Dibawah rintik-rintik hujan kami berboncengan sepeda motor menuju rumah Diana.
Di
tengah perjalanan kami berpapasan dengan beberapa adik-adik dampingan kami yang
sedang berjalan kaki bersama-sama menuju sanggar. Meski diguyur gerimis dan tak
berpayung, mereka tetap semangat datang ke sanggar. Luar biasa. Aku saja
seringkali malas untuk berangkat ke sanggar kalau gerimis, padahal aku naik
motor dan ada jas hujan. Padahal untuk ukuran anak-anak, jarak dari rumah
mereka ke sanggar cukup jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi mereka
tak menganggap jarak dan gerimis sebagai hambatan. Malunya diriku.
Saat
kami tiba, Diana sedang menonton TV di rumah Dicky yang bersebelahan dengan
rumahnya. Setelah berbincang-bincang sejenak, kami pun sepakat untuk
melanjutkan kunjungan ke rumah Anisa.
Aku
dan Mas Heru mengajak dua orang adik Diana – Hosiah dan Putri – untuk turut
serta. Setelah sepeda motor kami titipkan didepan rumah Diana, kami pun
berjalan menyusuri gang-gang kecil dibawah rintik-rintik air hujan.
Setelah
berjalan kaki selama beberapa menit, kami pun tiba di rumah Anisa. Saat kami
datang, Anisa sedang duduk di lantai bersama Ratna yang kakinya juga sama-sama
terluka akibat terjatuh bersama Anisa saat mbonek.
Kemarin
malam adalah kali pertama aku berkunjung ke rumah Anisa. Aku pun melangkahkan
kaki memasuki rumahnya. Sebuah rumah petak sangat sederhana berukuran sekitar 3
m x 6 m.
Kami
disambut ramah oleh Mbah Sumini, nenek Anisa. Selama ini Anisa memang tinggal
berempat bersama kakek, nenek, dan adiknya, Firda. Saat melihat kami duduk
tanpa alas di lantai di ruang depan, Mbah Sumini bergegas dan bersikeras
meminta kami untuk pindah duduk di dalam kamar. Ya, rumah itu hanya terdiri
dari dua ruangan, ruang depan dan ruang tidur yang sekaligus berfungsi sebagai
ruang nonton TV . Akhirnya kami pun pindah dan duduk bercakap-cakap
bersama Anisa dan Ratna di lantai kamar yang sudah dialasi kasur gulung. Karena
kasur gulungnya tidak terlalu luas maka aku pun hanya ndomprok di
pinggiran kasur gulung. Melihat itu Mbah Sumini segera menyodorkan sebuah dingklik
plastik kecil kepadaku dan memintaku untuk duduk diatas dingklik.
Sembari
bercakap-cakap, aku layangkan pandangan kesekelilingku. Aku tak bisa
membayangkan, bagaimana empat orang bisa tinggal dan beraktifitas didalam
ruangan yang hanya sedikit lebih besar dibandingkan kamar kosku. Hanya ada
sebuah tempat tidur didalam kamar, sehingga mereka harus menggelar kasur gulung
di lantai kamar sebagai tambahan tempat tidur. Ya, saat ini kami sedang duduk
diatas tempat tidur mereka.
Waktu
kami tidak terlalu banyak dan kami harus segera kembali ke sanggar karena Mas
Heru akan kedatangan tamu, maka kami pun bermaksud untuk segera pulang. Namun
saat hendak berpamitan, Mbah Sumini menahan kami karena ternyata dia telah
menyiapkan suguhan untuk kami. Dua tangkup roti tawar plus susu kental manis
dan dua gelas teh manis hangat. Akhirnya kami pun kembali ke kamar dan meminum
teh yang telah disajikan sambil kembali bercakap-cakap. Mbah Sumini pun ikut nimbrung
dan bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, serta kesulitannya untuk
membiayai sekolah kedua orang cucunya. Dia juga meminta maaf karena rumahnya
sempit dan hanya bisa menyajikan suguhan yang sederhana untuk kami. Dia merasa
menyambut kami dengan kurang pantas.
Akhirnya
setelah menenggak minuman kami, kami pun pamit pulang. Karena masih kenyang
maka kami pun tidak menyentuh roti tawarnya. Saat berjabat tangan dengan Mbah
Sumini, tiba-tiba Mbah Sumini menarik tubuhku menempel pada tubuhnya. Dia
kemudian memelukku dan cipika-cipiki. Dia merasa sangat senang dan
berterimakasih atas kunjungan kami. Aku pun terkejut. Anjrit...kataku dalam
hati. Belum pernah aku mendapatkan sambutan dan tanggapan seramah dan sehangat
ini sebelumnya saat aku bertamu ke rumah orang lain.
Mbah
Sumini memang tidak pernah mengenyam pendidikan dan tidak berlebihan dalam hal
materi karena hanya berprofesi sebagai tukang kebun di Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr. Ramelan (dia sudah mengabdi selama 30 tahun), namun dia mampu
memperlakukan tamu yang mengunjunginya dengan cara yang luar biasa. Aku belum
pernah merasakan kehangatan dan keramahan sebuah sambutan dan perlakuan seperti
yang diberikan oleh Mbah Sumini. Jarang ada orang yang meski berkecukupan mau
memberikan yang terbaik dari miliknya bagi orang lain serta memperlakukan
orang lain secara istimewa. Aku pun tidak pernah memperlakukan tamu yang
bertandang ke tempatku seperti itu. Malahan seringkali aku merasa ogah-ogahan
dan tidak menyuguhkan apa-apa. Fiuuuhh.....
Meski
hanya berupa dua tangkup roti tawar dan dua gelas teh manis hangat, Mbah Sumini
telah memberikan yang terbaik, karena dia telah memberikan dari keterbatasannya
dan disertai dengan ketulusan hatinya. Secara fisik rumahnya memang sempit dan
tidak nyaman, tapi entah mengapa aku merasa nyaman berada disana dan muncul
perasaan ingin kembali lagi kesana. Kehangatan dan keramahan Mbah Sumini adalah
persembahan yang terbaik untuk tamunya. Persembahan yang mampu membuat hatiku
merasa nyaman...
*Surabaya,
11 Januari 2012*
Lea
Benedikta Luciele
Dimuat dalam buletin
Fides Et Actio edisi No. 42, Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar