![]() |
ilustrasi.dari www.oceannaz.wordpress.com |
Mereka begitu riang bermain. Dua
anak ini, bersama anak-anak lainnya. Lari ke sana kemari. Menggoda temannya.
Mendekati relawan-relawan pendamping. Ulah mereka membuat tersenyum. Dasar
anak-anak. Lincah. Riang. Tak berbeban.
Mereka memang tidak berbeban. Yang
berbeban justru orang lain. Orang tua dan kami semua. Dua anak ini tidak
sekolah lagi. Baru saja mereka drop out. Alasan ekonomi. Yang satu malah keluar
dengan proses dramatis. Begitu pulang dari luar kota dan mendengar si anak ditariki
Rp 400.000,00 untuk urusan UNAS, si bapak langsung ke sekolah dan mengajaknya
pulang. Langsung keluar saat itu juga.
Tarikannya cukup besar untuk
keluarga-keluarga di sini. Katanya UNAS tidak bayar. Tapi, katanya dan nyatanya
ternyata beda. Anak-anak ini tetap ditarik tanpa ampun. Ada yang untuk les
tambahan. Karena, kalau tidak lulus UNAS, sekolah malu. Ada juga untuk wisuda.
Tamat SD saja pakai wisuda. Lalu harus rekreasi perpisahan. Masih ada item-item
lain yang gak kuingat.
Sempat terpikir untuk mencoba Kejar
Paket. Program ini yang dulu akrab dengan kami. Tidak sedikit anak-anak sanggar
mendapatkan ijazah dari Kejar Paket. Tapi, ternyata…untuk tahun ini harus bayar
Rp 1.500.000,00. Gila!!!!
Aku masih memandangi mereka. Kadang
senyum-senyum sendiri melihat tingkah anak-anak ini. Tapi, ada desir gak nyaman
di hati.
Anak-anak yang lain masih sekolah.
Namun, begitu masuk kelas terakhir, mereka akan menghadapi persoalan yang sama.
Bayar dan bayar. Lalu akan ada yang DO lagi. Padahal, bagi anak-anak ini ijazah
tidak akan mengubah masa depan. Realitanya adalah pendidikan tidak mengubah
masa depan anak-anak miskin.
(Rm. Rudy
Hermawan CM)
dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.42 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar