Sepulang dari Posko di Selorejo-Ngantang, seperti biasa
sebelum masuk kamar, saya masuk ke kamar romo Wawan, sekedar untuk bercerita
apa yang terjadi di sana. Satu hal yang menarik adalah peristiwa dimana
teman-teman relawan dan saya mencoba mendistribusikan logistik di desa Klangon.
Medan menuju Klangon terbilang sulit dan melewati laharan (yang entah kapan
akan mengalir lahar dingin) sehingga penduduk di sana sering terabaikan dalam
pendistribusian logistik, berbeda dengan penduduk Pandansari di dusun Munjung,
Pait, dan Kutut. Begitu sampai, logistik pun diturunkan di posko di seberang
sungai, mengingat jembatan menuju dusun tersebut putus total karena material
lahar dingin.
Di tengah kesibukan menurunkan logistik dari truk, saya
menyempatkan diri berbincang dengan Pak Jumali (Kasun). Beliau bercerita
mengenai bagaimana situasi saat Kelud meletus. Tak satu pun penduduk siap.
Mereka pun tergopoh-gopoh melarikan diri untuk mengungsi. Setelah status gunung
diturunkan, mereka pun kembali ke dusun mereka. Di sana mereka mendapati bahwa
rumah mereka hancur, atap-atap runtuh, semua perabotan rusak karena material
muntahan Kelud. Selain rumah, mereka mendapati bahwa lahan pertanian mereka
yang menjadi sandaran perekonomian mereka hancur. Tak ada jalan lain kecuali
menjual ternak yang mereka miliki, meski dengan separuh harga, yang penting
tetap ada pegangan sampai situasi sulit ini berlalu.
Belum selesai duka dan ke-putus asa-an mereka ketika kembali
ke rumah, lahar dingin pun menyapu jembatan menuju dusun mereka. Untuk beberapa
hari mereka terisolasi dengan dunia luar. Betapa asa menjadi semakin kecil
karena was-was dan ketidakpastian situasi yang mereka alami.
Mendengar kisah Pak Jumali tersebut, saya hanya bisa diam.
Satu hal yang terus terngiang adalah ucapan romo Wawan malam
itu. “Yo, njajal ndelok Kristus nyang
diri pengungsi, ter.” Sontak, saya pun seperti disadarkan dari lamunan
saya. Selama ini, apa yang saya lihat?! Selama ini, apakah saya sungguh melihat
Yesus dan berjumpa dengan-Nya?!
Peristiwa malam itu menjadi malam revelasi Yesus dalam
diriku. Secara konseptual, saya mengenal Kristus, namun kurang konkrit.
Padahal, bukankah Kristus dalam pandangan Vincentius adalah Kristus yang
konkrit? Bukankah orang miskin adalah orang yang secara konkrit saya jumpai hic et nunc? Jika demikian, saya
berjumpa dengan Kristus ketika saya berjumpa dengan sesamaku, secara khusus,
mereka yang miskin, lemah, terpinggirkan mau pun dipinggirkan. Semoga Tuhan
berkenan mengampuni saya karena kemalasan dan kelambanan saya dalam
menjumpai-Nya.
Oleh : Fr. Gregorius Agung CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 45, Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar