Hampir 4 tahun lamanya peristiwa tersebut sudah berlalu.
Tepatnya pada akhir tahun 2010 sebuah letusan dashyat dari Gunung Merapi
menggemparkan seluruh penduduk Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan sebuah awal
perubahan dari hidup kami.
Berawal dari sebuah angan-angan iseng, tiba-tiba munculah sebuah pemikiran untuk bisa membantu
sesama yang sedang mengalami musibah. Aku
dan temanku yang biasa dipanggil Jemmy saat itu sedang asyik menonton acara
televisi yang kebetulan sedang menyiarkan berita tentang meletusnya Gunung
Merapi yang berada di Magelang provinsi Jawa Tengah. Secara tidak sengaja kami
berdua tiba-tiba memiliki sebuah angan-angan ketika melihat begitu besar dampak
dari letusan gunung tersebut terhadap masyarakat disekitarnya.
Salah satu dari kami tiba-tiba berkata “Seandainya kalau
ada yang membutuhkan relawan untuk musibah erupsi di Merapi kita berangkat yuk!
Tapi kira-kira siapa ya orang yang mau memberangkatkan kita? Ingin rasanya bisa
membantu orang-orang yang sedang mengalami musibah.”
Beberapa hari setelah kami terlibat percakapan itu, entah
kebetulan atau tidak Tuhan seperti mendengarkan niat baik dari keisengan kami
berdua. Meskipun sebenarnya hingga saat ini kami masih belum bisa untuk menjadi
orang yang baik.
Seorang teman yang juga relawan di YKBS (Yayasan Kasih
Bangsa Surabaya) bernama Ziinbee tiba-tiba mengontak Jemmy untuk mengajak kami
berdua berangkat menjadi relawan di Merapi. Antara percaya dan tidak percaya
ketika kami mendengar tawaran tersebut.
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung menerima tawaran
teman kami itu. Karena kebetulan pada saat itu kami berdua statusnya masih
menjadi seorang PNS (Pengangguran Negeri Surabaya). Lumayan lah, daripada kami
tidak ada kegiatan di rumah.
Awalnya kami sempat ragu dan bertanya-tanya begitu
mengiyakan tawaran tersebut. Mau ngapain kami di sana?
Apa nantinya yang bisa kami lakukan di sana? Mengingat
kemampuan kami berdua sangat minim dalam hal akademis. Kami juga tidak memilki
latar belakang untuk menjadi seorang relawan. Bekal yang kami punya pada saat
itu hanya nekat, tenaga dan sedikit rasa kepedulian terhadap sesama. Kami mencoba
bertanya kepada diri kami masing-masing. Apakah cukup hanya bermodalkan hal di
atas? Memang kami berdua mengakui bahwa diri kami masing-masing mempunyai
kemampuan yang terbatas. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan niat
kami untuk tetap melanjutkan berangkat
ke medan bencana.
Sebelum kami berangkat, kami singgah dulu di Sekretariat
YKBS untuk berkoordinasi dengan teman-teman yang terlibat untuk mengurusi
bencana tersebut. Oleh teman-teman di Sekretariat jika tidak salah ingat, kami
hanya diberi petunjuk harus kemana kami ketika sudah sampai disana dan akan
menemui siapa ketika sudah sampai di tempat tujuan. Perasaan kami menjadi
semakin bingung begitu mendapatkan petunjuk tersebut. Tetapi kami tetap nekat
memutuskan untuk berangkat. Peristiwa itu akhirnya menjadi pengalaman yang
tidak bisa kami lupakan seumur hidup kami.
Dalam perjalanan menuju ke medan bencana kami ternyata
tidak pergi berdua. Ada 1 teman lain bernama Diaz yang pada waktu itu memang
juga berangkat bersama-sama dengan kami.
Singkat cerita, begitu tiba di tempat tujuan kami bertiga
terkejut melihat keadaan yang ada di sana. Semua jalan rata tertutupi oleh abu
vulkanik, tidak hanya itu rumah-rumah warga tetapi juga tanaman yang ada
sebagian rusak karena abu vulkanik dari Gunung Merapi. Belum lagi kami melihat
di televisi bahwa lumayan banyak korban meninggal. Muncul bayangan dalam
pikiran kami bertiga kalau kami akan bekerja bakti membersihkan abu vulkanik
yang ada di jalan raya dan rumah-rumah warga, lalu mengevakuasi jenasah korban
yang meninggal. Nyali kami sempat menciut pada saat itu. Tetapi kami bertiga
memutuskan untuk melanjutkan misi kemanusiaan ini apapun yang akan kami lakukan
di sana. Akhirnya setelah berjalan kaki cukup jauh sampailah kami di posko yang
sebelumnya sudah diberitahukan oleh teman-teman yang ada di Surabaya. Kami
disambut oleh teman-teman yang ada di posko. Dari sana kami bertiga semakin
bertambah bingung.
Antara aku dan Jemmy saling berbisik “Kita akan disuruh melakukan apa nanti
disini?” Akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti saja apa yang akan kami
lakukan di sana. Bisa dikatakan kami pasrah dan menurut saja dengan apa yang nantinya
akan diperintahkan kepada kami. Dalam hati kecil kami tidak masalah disuruh
ngapain, yang penting apa yang kami lakukan pada intinya bisa membantu
meringankan beban korban dan bisa mulai belajar peduli terhadap sesama.
Begitu sampai di posko kami tidak langsung melakukan
aktifitas karena pada waktu sampai di lokasi hari sudah menjelang petang. Baru
keesokan harinya kami memulai aktifitas kami bersama-sama teman-teman yang ada
di posko. Kegiatan kami di posko biasanya dimulai pagi sekitar jam 9 setelah
semua teman-teman relawan selesai mandi dan sarapan. Begitu semua teman-teman
sudah berkumpul kami masing-masing duduk membentuk sebuah lingkaran di sebuah
ruangan yang juga digunakan sebagai gudang logistik untuk berkoordinasi dan
bagi-bagi tugas. Biasanya dalam setiap koordinasi di posko dipimpin oleh 1
orang yang biasa kita panggil dengan sebutan DANCUK (Komandan Pucuk). Dancuk
sendiri juga bertanggung jawab sebagai koordinator posko. Dalam koordinasi tersebut
Dancuk biasanya membagi relawan menjadi 2 tim. Tim yang pertama biasanya
ditugaskan untuk mencari data dari para korban, hal tersebut biasa disebut assessment. Sedangkan tim yang kedua
bertugas untuk mendistribusikan logistik ke desa-desa atau posko-posko yang sudah didata oleh tim assesment serta sudah direkomendasikan
dalam tiap rapat koordinasi.
Dalam hal assessment
sendiri kita diminta untuk mengidentifikasi dampak suatu bencana, mengumpulkan
informasi dasar berupa jumlah pengungsi sesuai jenis kelamin dan usia,
menentukan jumlah kelompok rentan (lansia, balita, dan ibu hamil)
mengidentifikasi sejauh mana keterlibatan pihak lain (Pemerintah, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah atau BPBD, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB, dlsb)
pada saat bencana terjadi, mengidentifikasi jenis kebutuhan mendesak apa saja
yang dibutuhkan oleh para korban atau pengungsi.
Banyak kejadian yang terjadi entah ketika itu kami
ditugaskan sebagai tim assessment
ataupun tim distribusi. Salah satu hal yang paling kami ingat adalah ketika
kami melakukan assessment di suatu
desa yang letaknya 4 Km dari puncak Merapi. Disana kami mendapati cerita dari
beberapa warga sekitar tempat kami melakukan assessment. Mereka menceritakan sebuah keganjilan yang terjadi di
posko tempat mereka mengungsi, bahwa di posko tersebut setiap kebutuhan
pengungsi sudah diatur oleh pihak yang bertanggung jawab mengelola posko.
Tetapi pada prakteknya setiap kebutuhan yang diberikan kepada tiap-tiap
pengungsi tidak sesuai dengan kebutuhan yang mereka perlukan. Contohnya ketika
ada salah seorang pengungsi membutuhkan beras untuk keluarganya yang berjumlah
5 orang, pengelola posko hanya memberikan 1 kg beras untuk pengungsi tersebut. Anehnya
lagi para pengungsi dilarang untuk hanya sekedar melihat gudang logistik di
posko tersebut.
Aku yang juga mendengarkan cerita dari warga disana sempat
tidak habis pikir, kenapa disaat saudara-saudara kita mengalami kesusahan
seperti itu masih saja ada orang-orang yang tega melakukan hal seperti itu? Sebenarnya
apa yang dicari orang-orang itu? Kok ya tega orang sudah jatuh masih saja
ditimpa tangga!
Dari kejadian-kejadian yang terjadi ketika menjadi relawan di Merapi kami jadi bisa banyak belajar tentang kehidupan dari para korban. Hampir tiap hari disana kami bertemu dengan para korban entah itu ketika kami sedang melakukan assessment ataupun distribusi logistik. Mereka sama sekali hampir tidak pernah mengeluhkan keadaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.
Dari kejadian-kejadian yang terjadi ketika menjadi relawan di Merapi kami jadi bisa banyak belajar tentang kehidupan dari para korban. Hampir tiap hari disana kami bertemu dengan para korban entah itu ketika kami sedang melakukan assessment ataupun distribusi logistik. Mereka sama sekali hampir tidak pernah mengeluhkan keadaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.
Hampir sebulan lamanya kami bertiga berada di sana.
Kebingungan, ragu-ragu, hingga kurangnya kepedulian kami terhadap sesama
seketika itu sirna begitu kami bertemu dan bisa membantu meringankan beban
mereka. Mereka para korban sudah seperti guru kehidupan bagi kami. Pertemuan
dengan mereka, keberadaan mereka, interaksi dengan mereka sungguh membawa
dampak yang luar biasa dalam hidup kami. Sepulang dari sana kami menjadi mulai lebih
peduli terhadap sesama kami terutama mereka-mereka kaum marjinal.
Terima kasih kami ucapkan untuk para korban erupsi Gunung
Merapi. Karena kalian semua kami bisa terjangkit virus-virus kemanusiaan dan
kepedulian terhadap sesama.
Semoga kami bisa terus membiarkan virus-virus kemanusiaan
dan kepedulian ini menggerogoti hati dan pikiran kami. Agar kami bisa
menularkan dan menyebarkannya kepada sesama kami yang masih buta dan kurang
peduli terhadap saudara-saudara kita yang lemah, terpinggirkan, terlupakan, dan
tertindas.
Agus Eko Kristanto
Dimuat dalam buletin
Fides et Actio edisi Juni, No. 48 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar