Liburan
imlek kemarin aku pulang kampung. Meski tidak ada acara makan-makan ataupun
berkunjung-kunjung ke rumah kerabat untuk berburu angpao, aku sengaja
ambil cuti 2 hari untuk berkumpul dengan kedua orangtuaku. Sekedar menghormati
dan menyenangkan hati mereka.
Pagi
hari, begitu tiba di rumah, aku pun segera masuk ke ruang tengah untuk
memindahkan barang-barang bawaanku. Ya elahh.... aku temukan suasana yang
berbeda di rumahku kali ini. Aku merasa rumahku yang sekarang seperti penjara!
Kulihat
2 lapis teralis besi di setiap jendela yang ada, tambahan 1 lapis pintu besi
pada beberapa pintu yang sudah ada. Semuanya lengkap dengan gembok, palang
besi, dan gerendel tambahan. Sampai-sampai butuh waktu dan tenaga tambahan
untuk membuka pintu. Selain karena adanya tambahan gerendel, palang besi, dan
gembok, juga karena gerendelnya agak seret. Apa-apaan ini??? Saat sedang
terburu-buru hampir saja aku dibuat emosi karena kesulitan dan kelamaan membuka
pintu.
Rupa-rupanya
rumahku disulap menjadi penjara sejak kejadian rumah dimasuki perampok bulan
lalu. Ya, bulan lalu rumahku memang dimasuki beberapa orang perampok saat kedua
orangtuaku sedang pergi keluar kota. Tapi untung saja dipergoki oleh seorang
tetangga penjual bensin eceran yang mangkal didepan rumah kami. Meski tidak ada
barang yang hilang, sejak itu kedua orangtuaku segera memperketat pengamanan
rumah kami. Fiuhhh....
Sore
harinya seorang kerabat datang mengambil barang di rumah kami. Kulihat wajahnya
tampak kekuning-kuningan dan kakinya bengkak. Rupanya beliau sedang sakit.
Setelah beliau pulang, kedua orangtuaku bercerita bahwa beliau sedang sakit
karena kepikiran masalah yang menimpa anak perempuannya. Sejak menantunya
meninggal dunia, besan perempuannya menuntut hak atas harta peninggalan
menantunya (rumah, uang, dll). Bahkan baru-baru ini si besan memperkarakan
perebutan harta itu sampai ke pengadilan. Rupanya si mertua tidak ikhlas apabila
si menantu mendapatkan hak atas harta peninggalan anak laki-lakinya itu. Tak
hanya itu, meski akhirnya si menantu sudah mengalah dan menyerahkan rumah dan
sebagian harta lainnya kepada si mertua, rupanya si mertua merasa kurang puas.
Ia tetap menuntut atas kematian putranya yang sebenarnya meninggal akibat sakit
itu. Sakit akibat keseringan lembur dan main valas.
Dunia benar-benar sudah gila...hanya gara-gara perebutan harta, seorang mertua tega berbuat seperti itu terhadap menantunya.
Dunia benar-benar sudah gila...hanya gara-gara perebutan harta, seorang mertua tega berbuat seperti itu terhadap menantunya.
Keesokan
harinya saat aku sedang nonton TV bersama dengan kedua orangtuaku, datang
seorang kakek menawarkan roti dagangannya. Meski sedang tidak ingin makan roti,
namun karena kasihan aku pun membeli sebuah roti seharga Rp. 5.000,-
Sepulangnya
kakek penjual roti itu, papaku bercerita bahwa dulunya kakek penjual roti itu
mempunyai sebuah toko yang cukup besar di kota. Namun karena sesuatu hal
akhirnya kakek itu jatuh bangkrut dan harus menghidupi seorang istri dan
keempat anaknya yang memiliki gangguan kejiwaan dengan berjualan roti keliling.
Roti yang dijualnya pun hanyalah roti titipan.
Di
usia senja yang harusnya merupakan waktu untuk beristirahat, si kakek itu harus
membanting tulang berkeliling menaiki sepeda pancalnya untuk menjajakan roti.
Hatiku miris mendengar cerita papaku itu...
**
Harta...
Karena
harta manusia menjadi kehilangan nurani. Tega melakukan tindak kejahatan untuk
memiliki harta orang lain secara tidak adil. Mencuri, merampok, menipu, bahkan
membunuh pun dilakukan hanya demi memiliki harta lebih.
Harta...
Karena
harta manusia kehilangan ketenangan, kedamaian, kenyamanan, dan kebebasan.
Selalu dilingkupi rasa was-was dan tidak aman.
Tidur
tidak nyenyak, terbangun setiap kali mendengar suara mencurigakan...padahal
hanyalah suara tikus yang berlarian diatas plafon.
Manusia
terpenjara didalam rumahnya sendiri demi melindungi harta yang ada didalam
rumahnya.
Pagar
tembok lengkap dengan kawat berduri yang menjulang tinggi, pintu dan jendela
yang dilengkapi dengan selusin gerendel, gembok, dan palang besi, alarm anti
maling, anjing penjaga, satpam, dan masih banyak lagi sistem pengamanan lain
ditujukan untuk melindungi harta agar tidak jatuh ke tangan pencuri atau
perampok.
Jika
sudah begini, siapakah yang menjadi tuan dan siapakah yang menjadi hamba?
Manusialah yang diperbudak oleh harta...kehilangan kebebasan seperti seorang
budak belian.
Harta...
Karena
harta manusia tidak lagi mengenal kata saudara... tidak lagi ada istilah
hubungan darah...
Anak
melawan orangtua. Mertua melawan menantu. Adik melawan kakak. Keponakan melawan
paman.
Kalau
dipikir-pikir kok seperti hewan saja... Tidak mengenal hubungan darah...
Bukankah katanya manusia itu lebih tinggi harkat dan martabatnya jika
dibandingkan dengan hewan??? Tapi kok kelakuannya tak beda jauh dengan hewan
ya??? Bahkan ada yang lebih kejam daripada hewan malah...tega menghabisi nyawa
saudara sendiri demi merebut harta.
Harta...
Karena
harta manusia rela mengorbankan segalanya... kesehatan, keluarga, waktu
istirahat, masa muda, dll.
Ambisi
untuk mendapatkan lebih dan lebih pun seringkali menumpulkan hati nurani untuk
berbagi dengan orang lain.
Manusia
bekerja seperti mesin pencetak uang...demi menambah timbunan pundi-pundi harta
kekayaan yang hanya bersifat sementara dan dapat musnah dalam sekejap.
Banjir,
kebakaran, penipuan, kebangkrutan, perampokan, dalam sekejap dapat memusnahkan
harta kekayaan yang sudah dikumpulkan dengan penuh ambisi.
Jika
sudah demikian...apa yang masih tersisa dalam genggaman???
Manusia
pun seringkali lupa bahwa saat dia meninggalkan dunia ini, raganya tak lagi
menempati rumah mewah seharga milyaran rupiah, tapi hanya sebidang tanah seluas
1 x 2 meter di tanah pekuburan.
Harta
oh harta...
Orang
bilang uang bukan segala-galanya tapi segala-galanya butuh uang...
Jika
sudah demikian, mana yang akan dipilih, dikejar, dan diperjuangkan dalam
hidup???
Oleh : Lea Benedikta Luciele
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi No.70, April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar