Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Selasa, 24 Mei 2016

Tolak Pengeboran Karena Janji-Janji Palsu Pihak Lapindo

Begitulah kondisi pengeboran yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas, INC. yang ada di Dusun Kaliwungu Desa Banjar Asri  Kecamatan Tanggulangin. Menurut penuturan warga disekitar lokasi pengeboran, sumur produksi TG 1 ini telah beroperasi lebih dari 10 tahun.  Berbeda dengan Pak Satpam yang mengatakan sumur tersebut non aktif.

“Rencananya Lapindo akan mengaktifkan kembali sumur yang sudah tidak beroperasi selama 10 tahun ini. Jadi sumur yang lama akan diaktifkan kembali,” tutur Pak Satpam yang tidak saya ketahui namanya.

Hal itu dibantah oleh Abdul Aziz (70), warga Dusun Kaliwungu. Ia mengatakan sumur  tersebut masih beroperasi.


“Nggak mungkin sumur tersebut tidak beroperasi. Setiap hari kami masih mendengar  suara mesinnya. Yang benar itu Lapindo mau ngebor lagi disampingnya. Jadi rencananya disitu akan ada dua sumur,” ungkapnya.

Wajar jika Pak Satpam tidak jujur pada saya. Saat memasuki lokasi, saya langsung ditanya apakah saya wartawan, ada perlu apa dan dari mana. Mungkin karena kamera dan tas yang kupakai membuatnya curiga.

Segera kujawab,

“Bukan  pak, Saya warga Desa Besuki. Saya kesini ingin melihat secara langsung lokasi pengeboran yang sedang ramai dibicarakan.”

Pak Satpam kembali berkata,

“Saya takutnya mbak ini wartawan. Karena wartawan dan media apapun itu memang dilarang masuk ke area ini. Mbak kalau mau ngambil gambar dari sini saja. Jangan mendekat ke lokasi,” ujarnya.

Baiklah, Saya tidak mendekat ke lokasi pengeboran. Dengan cepat saya mengganti lensa kamera. Dari semula EFS 18-55 mm langsung berubah menjadi EFS 55-250.

Saat ditanya mengapa wartawan dan media tidak boleh masuk ke lokasi,
“Memang aturannya seperti itu mbak,” jawabnya.

Terdapat kolam air disebelah gundukan pasir tersebut. Air bekas kolam ikan digunakan anak-anak untuk mandi. Terlihat dari beberapa anak basah kuyup setelah keluar dari kolam. Namun saya tidak bisa mendekati lokasi untuk memastikan seberapa besar dan dalamnya.

Kembali ke masalah pengeboran yang akan dilakukan oleh Lapindo. Aziz menjelaskan, sesuai dengan izin yang diberikan warga pada Desember 2015, saat ini Lapindo hanya bisa melakukan pengurukan tanah untuk pijakan alat tanpa melakukan pengeboran.

“Kalau dulu itu izinnya pengurukan, bukan pengeboran. Tapi yang saya lihat sekarang ini Lapindo sudah mulai meletakkan pipa-pipa besi yang untuk ngebor,” tutur Aziz.

Saikun (60), warga Dusun Kaliwungu juga mengatakan bahwa pipa pengeboran seharusnya datang setelah pengurukan selesai dan mendapat kembali  izin dari warga.

“Saat tahu truk yang mengangkut pipa-pipa itu datang, ibu-ibu Dusun Kaliwungu mengadakan demo. Kami khawatir kalau Lapindo melakukan pengeboran lagi. Sampai saat ini warga hanya member izin untuk pengurukan bukan pengeboran,” ungkapnya.

Lokasi pengeboran yang jaraknya hanya 90 meter juga membuat warga resah.

“Jaraknya saja sudah menyelahi aturan. seharusnya jarak aman dari permukiman itu 150 meter. Bahkan peraturan terbaru jaraknya harus 1 km,” ucapnya.

Ia menambahkan, sebelum pengurukan dilakukan, Lapindo menjanjikan uang debu Rp 1 juta per KK untuk warga di tiga dusun yaitu Kaliwungu, Banjar Anyar dan Gayam. Namun pada 7 Januari warga hanya mendapatkan Rp 350 ribu per KK.  Sehari setelah itu,  Lapindo mulai melakukan pengurukan.

“Dari awal kami selalu dibohongi. Sekarang ini Lapindo seperti  ingin secepatnya melakukan pengeboran. Kami masih trauma dengan suara pengeboran yang membuat kami tidak bisa tidur siang dan malam,” lanjutnya.

Masih teringat jelas dalam ingatannya. Sekitar tahun2000 Lapindo mulai melakukan pengeboran di lokasi yang saat ini telah diberi pita berwarna merah putih itu. Mulanya pihak Lapindo mengatakan bahwa suara yang akan  keluar dari aktifitas pengeboran tidak akan mengganggu warga. Namun hampir dua bulan, nyaring suara mesin terus  terdengar hingga jarak 2 km.

“Dulu pihak Lapindo bilang kalau suaranya cuma des des aja. Kami ya percaya saja karena kami tidak pernah tahu bagaimana suara pengeboran. Nelongso mbak. Nggak bisa tidur  karena sangat bising.”

Masih di tahun 2000 Aziz dan Saikon menjelaskan bahwa warga menolak rencana pengeboran dengan mengumpulkan tanda tangan warga. Namun ada oknum yang menjadikan tanda tangan itu menjadi bukti persetujuan warga terkait pengeboran.

Kebohongan lain dari pihak Lapindo yang diungkapkan oleh Saikon adalah terkait izin aktifitas. Menurutnya, izin yang keluar ke warga ialah untuk pendirian pabrik mi instan. Warga sempat menolak ketika mengetahui lokasi tersebut akan dijadikan sumur gas. Mereka mulai melakukan aksi. Kekuatan warga terkikis setelah beberapa tokoh masyarakat di desanya mendapatkan tekanan dari pihak Polres. Tidak hanya itu, Kepala Desa yang baru yaitu Mukison sangat jelas mendukung aktifitas pengeboran tersebut.

“Kami seperti kehilangan pegangan. Pergerakan tiga tokoh masyarakat kami saat ini diawasi secara ketat oleh Polres sehingga mereka diam. Kepala Desa yang lama yaitu Pak Didik dulu sangat gencar menolak pengeboran. Tapi setelah pergantian kepdes kami sudah tidak bisa apa-apa,”  ungkap Saikon.

Tidak sampai disitu. Terkait pemasangan pipa sesuai sosialiasi, Lapindo akan menanam pipa penyalur gas di jalan raya. Namun yang terjadii, pipa tersebut dipasang di lahan warga. Setelah mendapatkan protes, Lapindo memberikan kompensasi sebesar Rp 300 ribu per rumah.
 
“Banyak sekali kebohongan Lapindo. Dari awal sampai sekarang. Dulu juga pernah berjanji akan memberikan pasokan gas untuk warga. Tapi sampai saat ini cuma omong kosong. Pipa penyalurnya memang ada namun tidak berfungsi,” ucapnya sambil tertawa dan menggeleng.

Ia mengatakan, selama ini ia dan warga telah melakukan penolakan namun selalu dihalangi.

“Setelah kasus Lumpur Lapindo yang ada di Desa Renokenongo itu, warga semakin takut jika disini di bor lagi. Kami takut jika kami menjadi korban selanjutnya. Saya sudah tidak bisa percaya sama aparat desa dan hukum. Intinya saya tidak rela dunia akhirat,” pungkasnya.

Oleh : Daris Ilma(Sanggar AlFaz Porong, korban luberan lumpur Lapindo)
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.71, Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar