Begitulah
kondisi pengeboran yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas, INC. yang ada di
Dusun Kaliwungu Desa Banjar Asri Kecamatan Tanggulangin. Menurut
penuturan warga disekitar lokasi pengeboran, sumur produksi TG 1 ini telah
beroperasi lebih dari 10 tahun. Berbeda dengan Pak Satpam yang mengatakan
sumur tersebut non aktif.
“Rencananya
Lapindo akan mengaktifkan kembali sumur yang sudah tidak beroperasi selama 10
tahun ini. Jadi sumur yang lama akan diaktifkan kembali,” tutur Pak Satpam yang
tidak saya ketahui namanya.
Hal
itu dibantah oleh Abdul Aziz (70), warga Dusun Kaliwungu. Ia mengatakan
sumur tersebut masih beroperasi.
“Nggak
mungkin sumur tersebut tidak beroperasi. Setiap hari kami masih mendengar
suara mesinnya. Yang benar itu Lapindo mau ngebor lagi disampingnya. Jadi
rencananya disitu akan ada dua sumur,” ungkapnya.
Wajar
jika Pak Satpam tidak jujur pada saya. Saat memasuki lokasi, saya langsung
ditanya apakah saya wartawan, ada perlu apa dan dari mana. Mungkin karena
kamera dan tas yang kupakai membuatnya curiga.
Segera
kujawab,
“Bukan
pak, Saya warga Desa Besuki. Saya kesini ingin melihat secara langsung lokasi
pengeboran yang sedang ramai dibicarakan.”
Pak
Satpam kembali berkata,
“Saya
takutnya mbak ini wartawan. Karena wartawan dan media apapun itu memang
dilarang masuk ke area ini. Mbak kalau mau ngambil gambar dari sini saja.
Jangan mendekat ke lokasi,” ujarnya.
Baiklah,
Saya tidak mendekat ke lokasi pengeboran. Dengan cepat saya mengganti lensa
kamera. Dari semula EFS 18-55 mm langsung berubah menjadi EFS 55-250.
Saat
ditanya mengapa wartawan dan media tidak boleh masuk ke lokasi,
“Memang
aturannya seperti itu mbak,” jawabnya.
Terdapat
kolam air disebelah gundukan pasir tersebut. Air bekas kolam ikan digunakan
anak-anak untuk mandi. Terlihat dari beberapa anak basah kuyup setelah keluar
dari kolam. Namun saya tidak bisa mendekati lokasi untuk memastikan seberapa
besar dan dalamnya.
Kembali
ke masalah pengeboran yang akan dilakukan oleh Lapindo. Aziz menjelaskan,
sesuai dengan izin yang diberikan warga pada Desember 2015, saat ini Lapindo
hanya bisa melakukan pengurukan tanah untuk pijakan alat tanpa melakukan
pengeboran.
“Kalau
dulu itu izinnya pengurukan, bukan pengeboran. Tapi yang saya lihat sekarang
ini Lapindo sudah mulai meletakkan pipa-pipa besi yang untuk ngebor,” tutur
Aziz.
Saikun
(60), warga Dusun Kaliwungu juga mengatakan bahwa pipa pengeboran seharusnya
datang setelah pengurukan selesai dan mendapat kembali izin dari warga.
“Saat
tahu truk yang mengangkut pipa-pipa itu datang, ibu-ibu Dusun Kaliwungu
mengadakan demo. Kami khawatir kalau Lapindo melakukan pengeboran lagi. Sampai
saat ini warga hanya member izin untuk pengurukan bukan pengeboran,” ungkapnya.
Lokasi
pengeboran yang jaraknya hanya 90 meter juga membuat warga resah.
“Jaraknya
saja sudah menyelahi aturan. seharusnya jarak aman dari permukiman itu 150
meter. Bahkan peraturan terbaru jaraknya harus 1 km,” ucapnya.
Ia
menambahkan, sebelum pengurukan dilakukan, Lapindo menjanjikan uang debu Rp 1
juta per KK untuk warga di tiga dusun yaitu Kaliwungu, Banjar Anyar dan Gayam.
Namun pada 7 Januari warga hanya mendapatkan Rp 350 ribu per KK. Sehari
setelah itu, Lapindo mulai melakukan pengurukan.
“Dari
awal kami selalu dibohongi. Sekarang ini Lapindo seperti ingin secepatnya
melakukan pengeboran. Kami masih trauma dengan suara pengeboran yang membuat
kami tidak bisa tidur siang dan malam,” lanjutnya.
Masih
teringat jelas dalam ingatannya. Sekitar tahun2000 Lapindo mulai melakukan
pengeboran di lokasi yang saat ini telah diberi pita berwarna merah putih itu.
Mulanya pihak Lapindo mengatakan bahwa suara yang akan keluar dari
aktifitas pengeboran tidak akan mengganggu warga. Namun hampir dua bulan,
nyaring suara mesin terus terdengar hingga jarak 2 km.
“Dulu
pihak Lapindo bilang kalau suaranya cuma des des aja. Kami ya percaya saja
karena kami tidak pernah tahu bagaimana suara pengeboran. Nelongso mbak. Nggak
bisa tidur karena sangat bising.”
Masih
di tahun 2000 Aziz dan Saikon menjelaskan bahwa warga menolak rencana
pengeboran dengan mengumpulkan tanda tangan warga. Namun ada oknum yang
menjadikan tanda tangan itu menjadi bukti persetujuan warga terkait pengeboran.
Kebohongan
lain dari pihak Lapindo yang diungkapkan oleh Saikon adalah terkait izin
aktifitas. Menurutnya, izin yang keluar ke warga ialah untuk pendirian pabrik
mi instan. Warga sempat menolak ketika mengetahui lokasi tersebut akan
dijadikan sumur gas. Mereka mulai melakukan aksi. Kekuatan warga terkikis
setelah beberapa tokoh masyarakat di desanya mendapatkan tekanan dari pihak
Polres. Tidak hanya itu, Kepala Desa yang baru yaitu Mukison sangat jelas
mendukung aktifitas pengeboran tersebut.
“Kami
seperti kehilangan pegangan. Pergerakan tiga tokoh masyarakat kami saat ini
diawasi secara ketat oleh Polres sehingga mereka diam. Kepala Desa yang lama
yaitu Pak Didik dulu sangat gencar menolak pengeboran. Tapi setelah pergantian
kepdes kami sudah tidak bisa apa-apa,” ungkap Saikon.
Tidak
sampai disitu. Terkait pemasangan pipa sesuai sosialiasi, Lapindo akan menanam
pipa penyalur gas di jalan raya. Namun yang terjadii, pipa tersebut dipasang di
lahan warga. Setelah mendapatkan protes, Lapindo memberikan kompensasi sebesar
Rp 300 ribu per rumah.
“Banyak sekali kebohongan Lapindo. Dari awal sampai sekarang. Dulu juga pernah
berjanji akan memberikan pasokan gas untuk warga. Tapi sampai saat ini cuma
omong kosong. Pipa penyalurnya memang ada namun tidak berfungsi,” ucapnya
sambil tertawa dan menggeleng.
Ia
mengatakan, selama ini ia dan warga telah melakukan penolakan namun selalu
dihalangi.
“Setelah
kasus Lumpur Lapindo yang ada di Desa Renokenongo itu, warga semakin takut jika
disini di bor lagi. Kami takut jika kami menjadi korban selanjutnya. Saya sudah
tidak bisa percaya sama aparat desa dan hukum. Intinya saya tidak rela dunia
akhirat,” pungkasnya.
Oleh : Daris Ilma(Sanggar AlFaz Porong,
korban luberan lumpur Lapindo)
Dimuat dalam buletin Fides et
Actio edisi No.71, Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar