Suatu saat aku turne ke beberapa stasi bersama beberapa anak
asrama. Saat sampai di sebuah stasi setelah jalan kaki selama hampir satu jam
naik turun bukit, anak-anak berbisik-bisik. Aku tanya ada apa. Salah satu dari
mereka menjawab lapar dan haus. Aku bilang nanti pasti akan ada orang yang akan
memberi makan dan minum. Tapi sampai sore tidak ada satu orang pun yang
mengundang kami makan. Beberapa orang hanya mengajak minum kopi dan teh saja.
Anak-anak makin gelisah sebab perutnya lapar. Aku meminta pada mereka untuk
mencari warung yang jual kue atau makanan apa saja. Ternyata setelah memutari
kampung tidak ada warung satu pun. Meski aku punya uang dan ada ATM di dompet
tetapi kami tidak dapat menggunakan uang untuk membeli makanan. Terpaksa mereka
harus menanggungg lapar sampai malam hari saat ada orang yang mengundang kami
makan.
Mengalami ini aku teringat saat berkeliling di kepulauan Riau
bersama seseorang. Kami kelaparan setelah hampir dua hari tidak makan. Akhirnya
orang itu mengajakku masuk ke sungai yang bermuara di laut. Di muara penuh
lumpur yang dalamnya sepahaku. Setelah menginjak-injak lumpur aku merasakan ada
benda keras yang kuinjak. Ternyata kerang-kerang lebar. Orang itu mengajariku
membuka dengan parang lalu dimakan. Pertama aku hanya menatap saja, tetapi
karena perut lapar maka kubayangkan makan masakan Jepang yang biasanya mentah.
Cukup banyak kerang sehingga perut lumayan terisi. Di dompetku ada uang dan ATM
tetapi semua itu tidak berguna. Di beberapa tempat uang dan ATM apalagi kartu
kredit tidak ada gunanya sama sekali. Disinilah baru menyadari betapa
sebetulnya kita tidak bisa bergantung penuh pada uang
Jika kita menyadari bahwa ada saatnya dimana uang tidak berguna
sama sekali atau tidak mampu menolong kita maka perlu adanya memikirkan peran
uang dari sudut yang lain. Pada jaman ini penguasa dunia adalah uang. Siapa
mempunyai uang dapat melakukan apa saja, bahkan sampai menggerakkan orang untuk
melakukan kejahatan dan keributan. Karena dibayar Rp 50.000 maka orang rela berpanas-panas
untuk ikut demonstrasi sambil mencaci maki orang tertentu. Karena dibayar Rp
50.000 orang rela dilecehkan saat menjadi penggembira di sebuah acara televisi.
Masih banyak lagi dimana orang demi uang rela melakukan berbagai hal. Atau
karena mempunyai uang orang dapat memperlakukan sesamanya sesuai dengan
keinginan dan kepentingannya.
Jika kita menyadari bahwa uang tidak selamanya menjadi jaminan
kita maka kita mungkin dapat berpikir kembali tentang posisi uang dalam
kehidupan kita. Kita memang butuh uang untuk menunjang kehidupan kita. Tetapi
bukan berarti bahwa uang adalah segalanya. Banyak orang mempunyai uang
berlimpah tetapi tidak mempunyai sahabat yang dapat menjadi a shoulder to cry on. Banyak orang
mempunyai uang tetapi tidak mempunyai kasih. Banyak orang mempunyai uang tetapi
hidupnya kesepian. Uang tidak dapat membeli sahabat dan kasih. Masalahnya kita
cenderung enggan mengeluarkan uang demi persahabatan yang tulus.
Pandangan yang mendewakan uang juga sudah masuk ke dalam
tembok-tembok Gereja dan para pemimpinnya. Beberapa kali aku mendengar adanya
keluhan dari pengurus Gereja saat para pemimpin Gereja hanya mempersoalkan uang
bukan karya yang sudah dilakukan oleh umat. Seolah uang menjadi sangat penting
dibandingkan karya kasih, sehingga pengawasan terketat adalah masalah keuangan
bukan masalah karya-karya kemanusiaan. Memang tidak dipungkiri adanya
penyelewengan keuangan oleh beberapa orang tetapi apakah dengan demikian maka
uang yang menjadi pokok bahasan terus menerus, sehingga mengabaikan karya-karya
kemanusiaan? Bukankah lebih baik memusatkan diri pada karya-karya kemanusiaan?
Yesus tahu bahwa Yudas sering kali menggunakan uang dengan tidak semestinya.
Tetapi apakah Yesus melengserkan Yudas dari jabatannya sebagai bendahara? Dia tetap
fokus pada karya penyelamatan.
Maka perlu kesadaran bahwa uang tidak selalu dapat menyelamatkan
kita. Maka kita perlu meletakkan uang sebagai alat. Bukan penyelamat. Jika kita
sadar bahwa uang bukan penyelamat maka perlu dicari apa yang dapat menyelamatkan
kita? Perlu dicari apa yang dapat menjadikan kita sebagai manusia sepenuhnya.
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no.71, Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar