Ketika
menanti jemputan yang tak kunjung datang, mata tiba-tiba terfokus kearah becak
dengan beraneka topi yang berhenti disamping RSAL atau didepan Royal Plaza.
Secara keseluruhan tidak ada yang istimewa sebenarnya tapi tulisan “TOPI
5.000” membuatku penasaran. Dari jauh aku amati dan sesekali aku potret.
Sepasang
perempuan dan laki-laki paruh baya memarkir motornya dan mulai memilih topi
yang mereka inginkan. Dalam hati berfikir yakin kah bapak itu menjual topinya
seharga Rp 5.000? ach mungkin hanya tulisannya saja 5.000 tapi kenyataannya
pasti lebih dari itu.
Lalu
aku mencoba mendekati bapak penjual topi dan aku mulai ikutan melihat-lihat
topi tersebut.
“
Pak yang ini berapa” sambil menunjukkan topi rimba warna maroon.
“Lima
ribu mbak. Silahkan dilihat-lihat dulu. Banyak warnanya.”
“
semua lima ribu pak?”
“iya
semua 5.000 kecuali yang ada didalam kotak.” Sambil menunjuk kotak yang isinya
kopiah.
Bapak
penjual topi ini aslinya Jember, ke Surabaya merantau dengan berjualan topi
keliling kampung. Barang dagangannya Ia kulak dari Mojokerto. Katanya bisa
murah karena itu terbuat dari kain perca. Sekilas memang rapi jahitannya tapi
jika dibalik topinya memang terdiri dari macam-macam warna dan kain yang
berbeda.
Beberapa
hari setelah perjumpaanku dengan bapak itu aku mencoba tanya ke remaja Sanggar
Merah Merdeka apakah mereka mengenali bapak penjual topi tersebut. Ternyata
beberapa dari mereka sering melihat bapak itu menjajakan dagangannya disekitar
kampung Tales. Bahkan beliau juga sering bantu Adzan dan membersihkan masjid.
Bapak
ini tak hanya menjual topi tapi juga slayer, kopiah, tasbih, cermin yang
rata-rata dijual Rp 5.000. Dengan harga segitu mau ditawar berapa lagi? Rp
2.500? atau lima ribu dapat 3? Buat sebagian orang termasuk saya, menawar
adalah hal wajib jika berbelanja di pasar tradisional atau PKL. Menawar
menghindarkan kita dari kemahalan dalam berbelanja dan bisa hemat dalam
pengeluaran. Apalagi kalau di pasar wisata kadang pedagang ugal-ugalan memberi harga dagangan mereka.
Namun
kembali lagi jika di dalam mall pernahkah kita menawar harga barang? pasti
jawabnya ga pernah, iya kan? Kita sadar harga di mall itu pasti lebih mahal
tapi dengan santai kita memilih dan langsung membayar ke kasir. Pertimbangan
kita barang di mall lebih berkualitas. Yup memang betul ada rupa ada harga.
Pernahkah
kita memikirkan nasib mereka? Mereka yang berjualan di pasar tradisional atau
emperan toko beradu dengan keringat, terkena paparan sinar matahari, belum
kalau cuaca hujan harus cepat-cepat membereskan dagangan. Mereka harus
berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam itupun kadang seharian dagangan
mereka tak laku. Lalu ada yang menawar dengan harga murah dan dengan berlapang
dada melepas dagangannya walaupun untung menipis asal ada pemasukan
sedikit-sedikit.
Mereka
melakukan semua itu hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berjuang
untuk mendapatkan kehidupan yang layak dengan rejeki yang halal. Kadang tak
sedikit para penjual juga sudah renta. Jika kita butuh barang coba cari dulu di
pasar ataupun PKL siapa tau ada yang cocok. Dan kalau harganya masuk akal
ikhlaskan saja uang kita tanpa menawar. Dengan begitu kita membantu
perekonomian mereka.
Oleh : Veronika Sari
Fuji
Dimuat dalam buletin
Fides Et Actio edisi No.73, Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar