Seorang pemimpin biara sedang duduk berunding dengan semua imam
yang berada di biaranya. Mereka telah lama mendengar ada sebuah desa yang agak
jauh dari biara yang belum mengenal Kristus. Masyarakat disana terkenal keras
dan kaku. Mereka juga hidup sesuka hatinya, sehingga sering terjadi kekacauan.
Maka pemimpin biara bermaksud mengirim seorang romo untuk mewartakan Injil di
desa itu.
“Kita mengirim romo Zofar saja.” kata seorang imam muda. “Dia ahli
moral lulusan universitas terkenal. Dengan mengajarkan moral maka orang disana
akan hidup lebih baik.”
“Jangan,” potong seorang imam. “Kita kirim romo Yohanes saja. Dia
seorang doktor Kitab Suci pasti dia dengan mudah akan menjelaskan Kitab Suci
pada penduduk desa sana.”
“Apakah ada usulan lain?” tanya pemimpin biara.
“Kita kirimkan saja romo Petrus.” kata seorang imam lain. “Dia
ahli teologi yang bukunya banyak menjadi referensi orang yang belajar teologi.”
“Atau kita kirim romo Paulus saja,” seru seorang imam lain. “Dia
pengkotbah terkenal dan sering diundang kemana-mana untuk berkotbah.
Kotbah-kotbahnya pun sering mendapat pujian dari umat.”
“Apakah semua setuju mengirim romo Paulus?” tanya pemimpin biara.
Semua romo menjadi terdiam. “Kita memilih salah satu dari para romo yang
diusulkan tadi.”
Terjadilah perdebatan siapa yang akan diutus. Semua orang
mengatakan keunggulan romo-romo yang diusulkan. Ruang pertemuan menjadi hiruk
pikuk. Tetapi sampai lama tidak ada kesimpulan siapa yang akan diutus. Para
romo yang diusulkan semua ahli dalam bidangnya. Tetapi tidak mungkin mengutus
mereka semua ke desa itu. Harus salah satu saja.
“Boleh saya usul?” kata seorang imam tua yang duduk di pojok ruang
dan sejak tadi hanya diam saja.
“Silahkan romo,” kata pemimpin biara.
“Saya usulkan kita mengutus keluarga Mateus saja.” Semua orang
yang hadir terkejut mendengar usulan itu. Mereka semua terdiam sambil menatap
imam tua itu.
“Mengapa romo mengusulkan keluarga Mateus?” tanya pemimpin biara.
“Dia keluarga yang baik. Rajin berdoa dan baik kepada semua orang.
Rumahnya selalu terbuka siang malam untuk orang yang membutuhkan. Di kampungnya
dia dicintai oleh semua penduduk kampung.”
“Apakah dia mampu mengajar orang di desa sana?” tanya seorang imam
muda dengan nada sinis.
Semua imam yang berada di ruang itu mengenal keluarga Mateus. Dia
keluarga yang rajin ke gereja. Suami istri itu tidak pernah menolak jika
dimintai pertolongan. Mereka akan mengerjakan semuanya dengan gembira.
Anak-anak mereka juga aktif di gereja. Mereka juga pelajar yang baik di
sekolahnya. Banyak orang mengagumi keluarga Mateus, meski mereka tidak pernah
peduli dengan semua itu. Mereka sudah merasa gembira saat dapat menolong orang
atau dapat berarti bagi sesamanya.
“Saya tidak meragukan keahlian para romo yang sudah diusulkan.
Tetapi bagi saya keluarga Mateus adalah Injil yang dapat dibaca oleh siapa saja
meski dia buta huruf sekali pun. Yesus pernah bersabda bahwa Dia dan Bapa
adalah satu. Ketika Filipus bertanya agar Yesus menunjukkan Bapa padanya, maka
Yesus mengatakan bahwa dia sudah melihat Bapa. Melihat Yesus berarti melihat
Bapa. Jika masih tidak percaya maka percaya saja dengan segala yang telah
dibuat olehNya. Kita adalah Injil, maka orang yang ingin belajar Injil cukup
melihat diri kita sehari-hari. Jika orang ingin melihat Yesus cukup melihat
kehidupan kita. Yesus menjadi nyata dalam tingkah laku kita dan perkataan kita
sehari-hari, sebab Dia ada dalam diri kita. Barang siapa melihat Yesus maka
melihat Bapa maka barang siapa melihat kita mereka juga melihat Yesus. Saya
rasa orang membutuhkan keluarga Mateus. Siapa yang melihat keluarga Mateus
meski dia tidak pandai berkotbah atau berbicara moral atau menjabarkan Kitab
Suci, mereka akan dapat membaca Injil dari sikap hidupnya.”
Akhirnya semua imam setuju dengan pertimbangan imam tua itu. Agama
bukanlah sekedar tempelan, tetapi agama adalah aku. Dalam budaya Jawa ada
istilah manunggaling kawula Gusti, persatuan yang utuh antara manusia dengan
Tuhan. Maka apa yang kita lakukan menunjukkan agama kita atau Tuhan kita. Orang
akan mengikuti agama kita bukan karena dia melihat dogma, teologi atau Kitab
Suci kita melainkan lebih melihat cara hidup kita sehari-hari. Kata seorang
filsuf jaman Yunani kuno, manusia adalah Being
yang merupakan pancaran dari Supreme
Being dan akhirnya akan menyatu kembali ke Supreme Being. Kita adalah pancaran dari Tuhan, maka gambaran Tuhan
yang bagaimana yang kita tampilkan kepada masyarakat? Semua tergantung dari
cara hidup kita saat ini. Tergantung dari apa yang kita katakan, kita lakukan
dan sikap hidup kita sehari-hari.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no.75, September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar