Tadi saat di bandara aku makan di gerai KFC, ini bukan pamer atau
bahkan promosi warung ayam goreng. Aku memilih makan disini, sebab rasa dan
harga sama dengan di tempat yang lain. Di bandara makanan dan minuman harganya
dapat berlipat ganda. Kopi satu sachet dalam gelas kecil harganya Rp 20.000,
padahal kalau di warung pinggir jalan hanya Rp 5.000 aja. Rasa makanan pun
sering kurasa aneh. Maka lebih baik makan di tempat yang sudah pasti rasa dan
harganya sehingga tidak membuatku kecewa dengan harga dan rasa yang tidak
sesuai bayanganku.
Saat sedang makan ada dua bapak masuk. Dengan suara ribut mereka
pesan dua paket. Tampaknya mereka orang terdidik, sehingga sesekali menggunakan
bahasa Inggris terapan dengan tepat, misalnya asesoris, alternatif dan sebagainya
yang tepat maksudnya. Saat pelayan menghidangkan dua paket dalam dus kecil,
salah satu mulai tampak kampungnya. Dengan suara keras dan nada marah dia
bertanya mengapa tidak diberi sendok dan garpu? Sejak kapan makan nasi ayam di
kFC diberi sendok? Pegawai mengatakan memang tidak ada sendok, kecuali beli
sup. Lalu mereka bertanya dimana wastafel. Pegawai menunjukkan di belakang.
Setelah mencuci tangan, lelaki itu kembali menegur pegawai dengan
suara keras dan nada marah. Mengapa tidak disediakan lap atau tissue? Padahal
di dekat wastafel sudah ada jet air dryer atau hand dryer atau mesin pengering
tangan. Pegawai lalu dengan sabar menjelaskan kegunaan benda yang menempel di
dinding di atas wastafel. Aku yakin lelaki itu bukan sedang marah pada istrinya
atau pekerjaannya. Dia marah sebab tidak tahu saja. Dia membayangkan seperti
hidup di kampung, dimana dekat tempat cuci tangan ada kain.
Kita sudah masuk dunia modern, tetapi sering kita tidak siap
memasuki dunia modern itu. Seperti pernah di kampung seorang ibu membawa HP
ketika HP nya berbunyi maka dengan suara keras dia bicara di depan HP “Ini
telpon atau SMS?” Terkadang kita tertawa melihat orang-orang semacam itu.
Tetapi apakah kita sendiri sesungguhnya sudah siap memasuki jaman yang masih
terasa asing bagi kita sehingga kita tidak melakukan hal yang konyol?
Saat ini kita memasuki jaman globalisasi dimana dunia menjadi
seolah tanpa batas. Hal ini disebabkan perkembangan tehnologi komunikasi,
informasi dan transportasi yang demikian pesatnya. Kita bukan lagi hanya
menjadi bagian dari masyarakat kampung kita tetapi sudah menjadi bagian dari
masyarakat dunia. Kita dapat dengan cepat mengetahui apa yang terjadi di
belahan dunia lain. Tempat yang mungkin belum pernah kita datangi. Kita pun
dapat cepat pergi ke tempat lain. Tempat jauh yang mungkin belum pernah
dibayangkan oleh nenek moyang kita. Saat aku mengajak beberapa anak pergi ke
Jawa, ada beberapa orang tua mereka mengatakan bahwa bapak dan ibunya saja
belum pernah pergi ke ibu kota provinsi bahkan ibu kota kabupaten tetapi
anaknya sudah pergi ke luar pulau naik pesawat.
Orang kampung di pelosok pun sudah memiliki TV dan gadget maka dia
dapat mengikuti berbagai berita dari tempat yang jauh. Mereka dapat melihat
foto kehidupan kota. Mereka mengikuti perkembangan pergolakan di Jakarta meski
mereka masih bermimpi untuk dapat melihat monas. Globalisasi dan modernitas
tidak dapat kita hindari lagi. Masalahnya apakah kita sudah siap menjadi bagian
dari masyarakat modern? Apaka pola pikir kita sudah modern, bukan sekedar
memiliki alat atau menggunakan alat moder?
Jangan mentertawakan orang kampung yang kita anggap konyol. Orang
kota pun dapat bertingkah laku konyol. Orang berteriak-teriak bahkan seolah
sudah menjadi pahlawan ketika mengkritik masuknya tenaga asing ke negara kita.
Padahal jauh sebelum dia mengkritik sudah banyak orang Indonesia yang bekerja
di negara asing. Selain itu akibat globalisasi hal itu memungkinkan, maka
negara kita pun sudah jauh-jauh hari membuat perjanjian dengan negara-negara asing
mengenai hal itu.
Orang masih berteriak soal pribumi dan non pribumi. Pada 1293
Raden Wijaya sudah memperistri Dara Pethak, seorang perempuan dari daerah
Sumatra. Pada tahun 2010 beberapa pengusaha Jepang membuat perahu yang diberi
nama Spirit Majapahit. Perahu itu untuk mengenang kerja sama Jepang dan
Majapahit dalam menghadapi armada Tiongkok. Jadi pada jaman Majapahit di abad
XIII saja sudah ada kerja sama dengan daerah yang jauh. Bagaimana mungkin orang
Jepang dan Mojopahit dapat bekerja sama jika tidak pernah bertemu? Jika
sekarang alat transportasi jauh lebih canggih dibandingkan jaman Mojopahit,
maka mengapa kita masih berpikir seperti jaman pra Mojopahit?
Akibat perkembangan sarana transportasi maka orang dapat berpindah
dan menetap di suatu daerah. Mereka akan beranak pinak di daerah itu. Maka
tidak heran bila ada banyak orang asing menetap dan beranak pinak di Indonesia.
Orang Indonesia pun banyak yang menetap di negara lain misalnya Suriname.
Apakah mereka hanya menikah dengan orang Jawa saja? Apakah tidak terjadi kawin
campur? Sekarang sudah banyak orang asing menjadi warga Indonesia dan orang
Indonesia menjadi warga negara asing, mengapa harus meributkan soal pribumi dan
non pribumi atau asli dan tidak asli Indonesia? Aku sendiri tidak yakin apakah
aku masih garis lurus keturunan manusia Wajak atau Trinil. Seorang profesor
dari universitas Tübingen, sebuah universitas bergengsi di Jerman, pernah
mengumumkan bahwa fosil tengkorak yang ditemukan di sebuah tambang di Hanover,
Jerman pada tahun 2002 mirip dengan fosil manusia Jawa yang ditemukan di
Trinil. Diperkirakan fosil itu berumur 700.000 tahun. Apakah orang Jawa dulu
menjajah Jerman atau orang Jerman yang kesasar ke Jawa. Semua masih misteri.
Selain itu saat India, Tiongkok, Rusia, AS dan berbagai negara
lain sudah berpikir soal luar angkasa dan membuat roket, robot dan sebagainya.
Ternyata banyak orang di negara kita masih banyak orang percaya pada dukun.
Bahkan ada orang yang memiliki gelar berderet pun masih percaya pada dukun yang
dapat menggandakan uang. Salah satu ciri dunia modern adalah penggunaan
intelektual, mencari sebab akibat bukan kekuatan gaib seperti di jaman masa
purba.
Maka bagiku apa yang baru saja terjadi di gerai KFC merupakan
gambaran sebagian besar orang di negara ini. Orang yang tidak siap memasuki
jaman globalisasi dan modern. Kita hanya dapat mentertawakan orang padahal diri
kita sendiri dapat menjadi bahan tertawaan orang lain. Untuk itu perlu belajar
dan siap berubah. Menggunakan akal budi secara baik dan benar. Membuka wawasan
kita atau istilah beberapa teman pergi piknik. Tidak hanya mengandalkan emosi
dan perasaan belaka. Berani terbuka terhadap perubahan dan terus mengubah diri?
Bukan sekedar mampu membeli tehnologi sedangkan mentalitasnya masih seperti manusia
jaman batu yang tertutup dan mudah curiga terhadap sesama serta kurang
menggunakan akal budi melainkan hanya mengandalkan otot belaka.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no.81, Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar