Inilah ceritaku, saat melihat tingkah kocak si tukang becak. Suatu
kali, aku agak bingung dengan kelakuan tukang becak yang biasa mangkal di
perempatan. Kupikir dia orang gila. Setiap kali turun hujan, pasti dia lepas
baju dan mandi di pancuran air yang mengalir dari talang rumah. Tak jarang dia
malah nyuci baju sekalian di depan gerbang rumah Pak RW yang selalu tertutup
itu. Pada suatu kesempatan saya beruntung dapat bertemu dengan dia. Dengan
senjata sok akrapku, aku cangrukan dengan tukang becak yang telah berhasil
membuatku penasaran ini. Dalam omong-omong dengan dia saya tahu bahwa dia 100%
waras. Apa yang dia lakukan setiap kali turun hujan adalah solusi dari masalah
yg dia hadapi. Sebagai pendatang dengan modal becak tua, dia tak kuat membayar
uang kost. Jika malam tiba ia tidur di becaknya. Tak punya KTP dan tak tahu
tanggal kelahiran. Bahkan nama panggilannya pun macam-macam. Ada yang menyebut
Pak Mamat ada yang memanggil dia dengan panggilan Pak Imam. Ternyata namanya
Rajab Ali, kalahiran Gresik dan merantau ke Surabaya sejak tahun 1979.
Becak tua itu penuh dengan barang-barang seperti payung, panci,
timba, pakaian. Becak itu seperti rumah berjalan baginya. Dan memang itu
satu-satunya “rumah” yang dia miliki di surabaya ini. Tentu dengan keadaan becak
yang seperti itu, tak akan ada orang yang menggunakan jasanya untuk mengantar
ke suatu tempat. Pak Imam memang tidak lagi mangkal untuk mengangkut orang. Ia
mangkal dan kadang berkeliling untuk mencari orang yang ingin menggunakan
jasanya untuk bersih-bersih, buang sampah, merapikan taman dan lain-lain.
“Di sini tidak ada sungai yang bisa dipakai untuk mandi, airnya
kotor semua. Air hujan itu satu-satunya yang bisa saya pakai untuk mandi. Kalo
di ponten harus mbayar”, begitu katanya. Jika kondisi terpaksa, biasanya dia
mengumpulkan dari aliran got dari perumahan yang airnya lebih jernih. “Airnya
bersih tapi setelah mandi kadang terasa gatal-gatal di punggung” imbuhnya.
Terkatup mulutku, mungkin benar kata orang bahwa kota besar tak pernah ramah
pada orang miskin. Air bersihpun tak berpihak pada orang miskin. Spontan aku
menawarkan ke dia untuk mampir dan mandi kalau kebetulan lewat depan rumah dan
pengen mandi. Tawaranku ini terlontar bukan karena aku orang baik, itu
benar-benar spontan dan nampaknya aku tak benar-benar sadar dengan ucapanku itu
mengingat di rumah yang kutempati sekarang ini aku juga numpang hehe… Melangkah
pulang ke rumah, kusempatkan untuk melongok sungai dan got-got yang kebetulan
kulalui. Iya.. sungai dan got airnya keruh dan bau. Hatiku bergeleng-geleng…
iya..hatiku yang bergeleng-geleng, bukan kepalaku. Pak Imam tukang becak yang
adalah orang waras itu kukira gila karena kelakuan ganjil yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Ada penyesalan karena telah mengira Pak Imam yang sangat
sopan itu sebagai orang gila, juga ada senyum kecil yang mentertawakan
kebodohanku yang besar.
Oleh : Johanes Lasmidi
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 90, Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar