Aku membuka google mencari resep masakan. Sudah hampir seminggu
ini hanya ada daun singkong dan pakis. Udah beberapa resep aku coba untuk
memasaknya tetapi akhirnya semua resep tampak hampir sama. Kalau toh ada resep
lain selalu membutuhkan tambahan yang tidak ada disini. Bumbu terbatas. Hanya
ada bawang merah, bawang putih, cabe. Apalagi segala ikan yang disarankan dalam
resep. Saat aku masih mencoba mencari resep baru teleponku bergetar. Kulihat
ada telepon masuk dari seorang teman di kota.
“Sedang apa?” tanyanya dengan suara riang seperti biasa.
“Mau masak.” Jawabku.
“Masak apa?”
“Daun singkong.”
“Wah enak itu. Aku suka. Buat sambel. Enak sekali lalap daun
singkong.”
“Kapan terakhir kamu makan daun singkong?” tanyaku.
“Kapan ya. Udah lama sekali. Disini jarang ada orang jual daun
singkong.”
“Kamu masak apa hari ini?”
“Sop buntut.”
“Kemarin masak apa?”
“Kemarin tidak masak. Siang sama teman-teman makan buffet di hotel X. Kapan-kapan kalau
kesini aku ajak makan disana. Makanannya enak dan ada banyak pilihan.”
“Ya ya terima kasih.” Setelah bercerita aneka hal dia menutup
telepon.
Kutatap daun singkong yang ada di meja. Temanku tadi dengan
semangat mengatakan daun ini enak, sebab dia jarang makan. Coba kalau selama
seminggu dia harus makan daun yang sama, tentu dia akan berpikir lain. Dia
kemarin makan di buffet hari ini
makan sop buntut. Ya jelas daun singkon menjadi enak.
Percakapan tadi menunjukkan bahwa sering kita tidak memiliki
empati. Secara sederhana bagiku empati adalah ketika kita memposisikan diri
kita di tempat orang lain untuk memahami apa yang sedang dia hadapi. Jika dia
hanya menempatkan diri pada posisinya, maka orang yang diajak bicara akan
melihatnya aneh. Temanku memposisikan dirinya pada segala kelimpahannya. Maka
dia mengatakan daun singkong itu sangat enak. Tetapi disini aku setiap hari
makan daun singkong. Jadi apa enaknya? Andai dia disini apa masih tetap akan
mengatakan daun singkong enak?
Sering aku mendengar orang mengucapkan kalimat pada orang yang
sedang menderita seperti ini “Tabahlah, Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar
batas kemampuan kita.” Atau “Tuhan akan memberikan yang terbaik buat kita,” dan
kalimat semacamnya. Kalimat itu indah tetapi seandainya dia yang mengalami
penderitaan tanpa ujung apakah dia masih akan mampu mengatakan hal itu. Inilah
tanda kecil bahwa kita kurang memiliki empati. Kita mengucapkan itu sebab bukan
kita yang menderita. Kita bisa berteori aneka macam dan mengutip dari aneka
ayat.
Kisah Ayub dan ketiga sahabatnya menunjukkan hal itu. Saat Ayub
menderita ketiga sahabatnya datang. Setelah mereka diam beberapa lama akhirnya mereka
mulai berteori dari sudut moral dan iman. Ayub bereaksi keras terhadap argumen
mereka dan terjadilah perdebatan panjang. Maka bagiku terkadang orang tidak
butuh nasehat atau penghiburan, sebab hal itu dapat semakin menyakitkan hati
saja. Lebih baik kita diam dan berusaha memahami apa yang sedang dihadapi oleh
orang lain.
Temanku tadi mengatakan daun singkong enak, sebab dia makan sop
buntut. Aku hanya berharap ada mujijat yang mengubah daun singkong menjadi sop
buntut. Dari pada berkhayal maka aku mulai mengiris bawang merah dan bawang
putih. Sekali lagi siang ini makan oseng daun singkong sambil membayangkan sop
buntut.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no. 89, November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar