“Mak apa lebaran ini bapak pulang?” tanya seorang anak sambil
menatap perempuan separo banyak yang sibuk menjahit. Perempuan itu diam.
Tangannya terus bergerak memasukkan jarum ke kain. Menarik dan memasukkan
kembali.
“Maaak,”
“Ya mak dengar,”
“Apa lebaran ini bapak pulang?”
“Entahlah,” jawabnya acuh.
“Lebaran kemarin emak bilang kalau lebaran ini bapak pulang,”
“Emak sudah lupa apa pernah mengatakan itu,” sahut emak
diplomatis.
“Ya.” Sahut anak kecil itu. “Emak bilang kalau lebaran depan bapak
pulang.”
“Emak kan bilang lebaran depan.” Perempuan itu menatap wajah
anaknya sejenak.
“Berarti kan lebaran ini,”
“Ah lebaran kan masih banyak.” Sahut emaknya, “Bisa lebaran tahun
depan atau tahun depan lagi.”
“Lalu lebaran kapan bapak akan pulang?”
“Emak nggak tahu.”
Suasana menjadi hening. Emak dan anak menjadi membisu. Mulut
mereka terkatup membiarkan angan-angan yang berbicara dalam pengembaraan
khayal. Mata anak itu berkedip-kedip menatap emaknya. Mata emak terpusat pada jarum
dan benang yang terus bergerak berusaha mengkaitkan dua buah kain kusam menjadi
sebuah baju. Kemarin dia mendapat baju bekas dari seseorang. Baju ukuran
dewasa. Kini dia berusaha membuat baju yang besar itu menjadi baju kecil agar
pas dengan ukuran badan anaknya yang sangat kurus.
“Mak,” suara anak itu memecah kebisuan. Menghentikan gerakkan
khayal. Perempuan itu terus melanjutkan gerakan tangannya seolah tidak
mendengar panggilan anaknya.
“Apakah bapak tidak pernah akan pulang?” tanya anak itu lirih
sesaat setelah menunggu reaksi emaknya. Sebuah tanya yang sudah lama bergulat
dalam dadanya tapi takut untuk diucapkan sebab takut mendapat jawaban yang
tidak diharapkan. Perempuan itu menunduk. Menatap kain, benang dan jarum. Jari
tangannya yang kisut dan kotor terus bergerak tiada henti.
“Mak,”
“Ya mak dengar,”
“Kenapa mak gak menjawab?”
“Mungkin lebaran depan bapakmu baru bisa pulang,” sahut perempuan
itu kaku. Setiap saat dia selalu memberikan harapan akan kepulangan seorang
lelaki. Harapan itu memberikan kekuatan pada anaknya. Dia dapat bercerita pada
teman-temannya bahwa lebaran ini bapaknya tidak pulang. Tapi lebaran depan
bapaknya pasti pulang dan membawa semua kebutuhannya untuk merayakan lebaran.
Perempuan itu membiarkan anaknya hidup dalam harapan dan khayalan. Dia tidak
ingin merampas satu-satunya kebahagiaan yang dimiliki oleh anaknya.
“Sebetulnya bapak dimana?”
“Kerja,”
“Dimana mak?”
“Di luar pulau,”
“Apakah jauh sekali sehingga tidak bisa pulang pada hari lebaran?”
“Jauh sebab harus naik kapal.”
“Tapi kan bisa naik kapal,”
“Kamu liat di tivi kan?”
“Ya mak,”
“Banyak orang berdesakan untuk naik kapal.” Perempuan itu
mengangkat baju yang baru selesai dijahitnya. “Bapakmu mungkin tidak dapat
tiket kapal.”
“Kan bapak bisa pulang sebelum lebaran mak,”
“Sebelum lebaran kan gak libur,”
“Apa bapak gak bisa bolos kerja?”
“Kalau bolos bisa dipecat sama bosnya,” perempuan itu mengalihkan
pandangan. Matanya menjadi panas. Setiap tahun selalu alasan sama yang
dikatakan. Dia mengamati sejenak baju kecil hasil karyanya.
“Ini emak buatkan baju baru.”
“Ini kan baju lama mak,”
“Bukan,” potong emaknya sambil menempelkan baju itu di tubuh
anaknya. “Kamu kan liat emak baru saja selesai menjahitnya.”
“Ya tapi kan ini baju bekas,”
“Bagi emak ini baju baru, sebab baru saja selesai emak buat.”
Dengan enggan anak itu membiarkan tubuhnya diputar-putar oleh emaknya.
“Wah anak emak sangat tampan dan gagah,” wajah perempuan itu
berbinar-binar. Senyumnya berusaha mencairkan mendung yang menggantung di wajah
anaknya.
“Terima kasih mak,” diambilnya baju itu dan diletakkan di sisinya.
Dia tidak tertarik pada baju bekas yang dibuat baru. Hatinya penuh kebencian
yang ditekannya rapat-rapat. Dia benci lebaran. Benci melihat semua anak
memakai baju baru. Benci melihat teman-temannya bermain petasan. Benci melihat
teman-temannya bersuka cita bersama keluarganya. Benci mendengar cerita
teman-temannya yang mendapat hadiah dari bapaknya.
“Kamu tadi sudah tarawih?” tanya perempuan itu lembut. Diusapnya
kepala anaknya. Anaknya diam. Tubuhnya disandarkan pada dinding triplek rumah
kost yang sempit.
“Kamu di rumah sebentar ya, emak carikan kamu lauk untuk sahur
nanti,” perempuan itu segera bergegas keluar ruangan yang pengap dan penuh
kegalauan. Dia berjalan ke ujung lorong deretan rumah. Matanya basah. Entah
kemana dia harus berjalan dalam gelap malam untuk mencari lauk yang dijanjikan.
Kakinya yang lelah menyeret tubuh menjauh dari rumah. Beberapa kali dia
menghela napas panjang. Pikirannya terus bergerak dan meloncat dari satu
kenangan ke realita hidup yang pahit.
“Mau kemana malam-malam?” sebuah suara tetangga mengejutkannya.
“Mau ke sana sebentar,” jawab perempuan itu tergagap sambil
mempercepat langkahnya. Dia tidak tahu arah yang dituju. Dia hanya ingin
berjalan dan terus berjalan. Menjauhi rumah dan segala pertanyaan yang menusuk
hatinya. Puluhan wajah lelaki hinggap di benaknya. Wajah-wajah yang memberikan
janji dan sikap manis. Pujian yang mengalir bagai sungai di musim hujan setelah
menikmati tubuhnya. Tapi kini semua hilang lenyap. Tidak ada satupun yang
datang. Semua sudah berlalu seiring dengan tubuhnya yang telah mulai keriput
dan ada banyak perempuan lain yang lebih muda dan segar. Hanya anaknya yang
masih tertinggal. Anak yang tidak tahu siapa bapaknya yang sesungguhnya. Bapak
yang senantiasa ditunggu kedatangannya pada saat lebaran.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No. 90, Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar