Perkenalan saya dengan buku Pramoedya
Ananta Toer dan Soe Hok Gie bermula dari hampanya aktifitas baca yang
benar-benar saya kerjakan beberapa tahun yang lalu. Mungkin karena sifat
keluguan untuk mengkonsumsi buku yang terbilang tidak terpilah dengan rapi
sesuai dengan kebutuhan. Pada titik kritis merasakan kondisi yang sudah bosan,
hambar dan dongkol ketika saban hari memelototi buku-buku motivasi,
cinta-cintaan, koran serta komentar-komentar menjemukan dari para profesional
membuat diri butuh konsumsi baru yang setidaknya dapat membuat kaki-kaki
beranjak dan melakukan sesuatu daripada sekedar meratapi nasib-nasib mujur yang
ditampilkan pada buku-buku tersebut. Kondisi demikian melatarbelakangi diri
untuk mencari bacaan yang lebih bernyawa atau setidaknya bacaan yang
benar-benar mewakili kondisi sosial masyarakat. Pada akhirnya pilihan jatuh
pada buku Pramoedya Ananta Toer, yakni novel Tetralogi Buru dan Panggil
Saja Aku Kartini serta Catatan
Seorang Demonstran dan Orang-Orang Di
Persimpangan Kiri Jalan empunya si Soe Hok Gie. Buku-buku yang dengan mudah
didapat di loakan.
Ketika memelototi buku-buku mereka,
nikmat mencercap kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang merasuk ke indera
sedapnya bukan main. Meskipun di sisi lain hal tersebut bagi saya ialah suatu
proses untung-rugi. Dengan maksud lain untung jika terpahami dengan baik
isinya, rugi jika menerima begitu saja isinya. Karena dua bagan tersebut
dipenghujung acara akan menentukan perkembangan lebih jauh dari pembaca.
Ada hipotesis yang mengatakan bagaimana
cara seseorang itu berpikir dan bertindak tergantung pada apa yang dia baca.
Sekilas pernyataan demikian ada benarnya walaupun sedikit mengerdilkan
totalitas dalam aktivitas material manusia yang kompleks. Namun sayangnya bukan
tema ini yang menjadi pembahasan utama penulisan nantinya, tetapi akan lebih
menaruh perhatian terhadap proses linguistik dalam perilaku membaca buku.
Penyajian dalam tulisan ini akan
mengambil dari perbendaharaan pada pengalaman pribadi yang kebetulan pernah
menyetubuhi imajinasi dan cara pandang Pramoedya Ananta Toer dan Soe Hok Gie
pada buku-buku yang disebut dimuka. Dan mudah-mudahan pada akhirnya dapat
dikentarai bagaimana proses linguistik dari perilaku membaca buku-buku mereka
telah mengantarkan ketertarikan baru pada apa yang lebih semrawut lagi dari
pada kemampuan bersastra seperti Pramoedya Ananta Toer dan Soe Hok Gie. Maka,
membagikan apa yang dulu sedikit pernah diembat tidak akan membuat miskin
bukan?
Coretan Pena Pram dan Gie
Pram dengan tetralogi burunya dan Gie
dengan catatan-catatannya, karya yang mendominasi perubahan kultur membaca
untuk pemuda yang kala itu masih lugu-lugunya, plongah-plongoh dan tentunya
apolitis. Pram dilahirkan di kota Blora Jawa Tengah pada Tahun 1925. Meniti
karir sebagai seorang jurnalis dan penulis. Berita-beritanya tentang Indonesia
dekade 30an sangat bikin ngilu jidat Pemerintah Hindia Belanda. Tiga tahun
dalam penjara kolonial hingga setahun dipenjara oleh Orde Lama. Penjara harus
menjadi rumah singgah Pram untuk sementara waktu. Proses tulisannya yang terus
bersentuhan dengan dunia sosial dan politik, penindasan kaum melarat memiliki
konsekuensi yang besar, yakni fitnah dan penjara. Tuduhan terlibat dengan G30S
yang dicapkan oleh pemerintah Orde Baru membuat penderitaan berlumut-lumut
dirasakannya dimasa pemerintahan otoriter Soeharto dengan 14 tahun lamanya di
lokasi penjara yang tak menentu. Pada 13 Oktober tahun 1965 hingga Desember
1979, Pram malang melintang dari penjara ke penjara tanpa proses hukum. Pram
bebas pada 21 Desember 1979 tetapi bukan kebebasan murni. Kekotoran ini
disebabkan masih harusnya jadi tahanan rumah, kota, negara hingga tahun 1999,
dan mekanisme wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur seminggu sekali saja dalam
lamanya waktu 2 tahun. Dari tekanan demi tekanan di sejarah kisah jungkir balik
ini, lahirlah beberapa karya diantaranya Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca yang kelak
disebut orang-orang sebagai Tetralogi Buru.
Novel fiksi biografi Pram yang mendapatkan seabrek penghargaan.
Dalam keempat buku tersebut kekuatan
imajinasi Pram kembali pada masa-masa Indonesia terjajah di awal abad ke-20.
Para tokoh yang disajikan begitu ciamik karena berasal dari latar belakang
sosial-budaya yang begitu berwarna. Sosok utamanya ialah anak bangsawan gundah
gulana seperti Minke dengan gairahnya
melihat sosok Annelis seorang keturunan Belanda-Indo yang di Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah menjadi istri Minke dan
akhirnya begitu saja sakit lalu mati. Sosok gundik cerdas pada Nyai Ontosoroh
sebagai Ibu Annelis. Darsam, Madura notok penjaga rumah Nyai Ontosoroh dan
kawan-kawan Minke.
Sebagai sambil lalu, bahwa rumor popular
mengakui sosok Minke ialah cerminan dari seorang jurnalis progresif yang hidup
di awal abad-20 yaitu Tirto Adi Soerjo, salah satu pelopor awal pergerakan
nasional di samping Marco Kartodikromo yang dalam imajinasi Pram menjadi
sahabat karib Minke nantinya. Di tetralogi Buru, Minke sendiri ialah seorang
terpelajar lulusan sekolah menengah umum HBS (Hoogere Burgerschool). Sekolah
yang hanya diperuntukkan bagi siswa-siswa Belanda, Eropa atau Bangsawan
pribumi. Setelah lulus melanjutkan ke perguruan tinggi ilmu kedokteran di
STOVIA (School tot Opleiding van Indische
Artsen). Disini mulai terbentuk nalar kritisnya. Bertemu dengan banyak
tokoh awal pergerakan seperti Suwardi (panggilan Ki Hajar Dewantara), Tjokro,
Tomo (sebutan Pram pada Boedi Utomo) dst. Perkumpulan mereka mengakibatkan
munculnya organisasi-organisasi baru untuk melawan posisi mapan dari
kolonialisme Belanda, seperti Serikat Dagang Islam dan Boedi Utomo.
Dinamika cerita dalam tetralogi Buru
bukan sekedar mengisahkan cinta-cintaan si Minke dan si Annelis. Tetapi lebih
dekat pada hubungan sosial dan budaya di awal abad-20. Realitas kompleks yang
tergambar oleh mesin tik Pram memberi tahu bahwa sifat-sifat konservatisme
tradisi, rasial, direndahkan penguasa, diskriminasi ras, pergolakan politik
pemerintah kolonial dan gerakan sosial-politik menentang kolonialisme cukup
kental disajikan oleh tetralogi Buru.
Selain kondisi sosial politik pada
jamannya yang mempengaruhi Pram, tidak dapat dipungkiri ada suatu kesan yang
cukup menarik dibahas. Pram pada segi intelektual dan karekateristik bahasa,
konotasi pada penekanan nilai-nilai, sangat kental dengan Douwes Dekker atau
Multatuli serta novel-novel bergenre sosialis Rusia seperti empunya Maxim
Gorky. Tidak tutup kemungkinan diutarakan karena secara mendasar Pram memang
pernah beberapa kali mengunjungi Soviet sewaktu muda dan kekar dulu.
Lebih dari semua basa-basi di atas, Pramoedya
Ananta Toer menurut saya ialah seorang novelis dan sastrawan tak mati-mati,
salah seorang intelektual dari kalangan’kemanusiaan’ yang cukup mapan
realismenya. Menjadi corak imajinasinya dan cara pandangnya sampai akhir
hayatnya. Dia bukan penulis sastra hasil pabrikan yang imajinasinya sangat jauh
dari derita-derita sosial-politik masyarakat yang seutuhnya. Perbedaan Pram
dengan novelis yang baru akhir balik adalah Ia mampu membuat buku-bukunya
bernyawa alias tidak anyep. Dia juga sosok yang teguh berkonsekuen, mewujudkan
separuh penderitaan dalam hidupnya untuk menceritakan sejarah pendegradasian
moral bangsa dalam buku-bukunya dan dalam kekangan sel penjara Orde Baru di
pulau Buru.
Mari sedikit beralih pada seorang dan
situasi tahun 1960an. Mahasiswa-mahasiswa di tahun 60an gemar mendemo
pemerintah Soekarno karena mahalnya bahan pokok, KKN di Kabinet, malasnya
perwakilan-perwakilan rakyat di gedung dewan. Situasi ini menjadi untung
politik bagi militer untuk segera bergaul mesra dengan mereka dan menjadi
oposisi pemerintahan Soekarno. Satu diantara mahasiswa itu ialah Soe Hok Gie. Pemuda
yang berkuliah jurursan sastra di Universitas Indonesia. Aktif di organisasi
mahasiswa menjadi anggota BEM UI. Pasif pada kepribadiannya sendiri menyoal isi
hati. Agak merana karena dimusuhi banyak orang akibat dari tulisan-tulisannya
yang tanpa kenal ampun menyasar pada siapa saja yang menyembunyikan kebenaran.
Coretan penanya di koran-koran seringkali mengkritisi pemerintahan Soekarno.
Dan terlebih berpengharapan pada Orde Baru agar menyelesaikan masalah yang
ditimbulkan oleh pemerintahan Soekarno. Meskipun naifnya ide-ide Gie, tetap
patut disyukuri bahwa Gie memiliki catatan harian yang banyak mempengaruhi
banyak ABG (Anak Baru Gede) seperti saya dulu ketika akan memulai mengenal
sastra.
Catatan
Seorang Demonstran,
judul semua keluh kesah, kritik-kritik Gie dan drama percintaannya. Diterbitkan
setelah wafatnya Gie karena keracunan gas beracun di kawah Semeru. Kakaknya,
Arif Budiman menerbitkannya bersama Yayasan Mandalawangi. Gie menulis semua
catatan hariannya dalam perkiraan kurun tahun Desember 1959 hingga berhenti
pada 16 desember 1969 diwaktu Gie wafat. Selama sepuluh tahun Gie mencatat
hampir semua fenomena kejadian sosial-politik di Indonesia dengan bumbu-bumbu
idenya yang jujur nan berani meskipun terkadang tak mendalam. Gie kadang juga terjerembab
dalam kritisime semu yang diakuinya sendiri ketika curhat dengan kakaknya. Apa
yang dikerjakannya ialah aktivitas yang jarang dilakukan oleh mahasiswa 60an
dan kini tentunya.
Catatan
Seorang Demonstran
serasa mewakili kultur intelektualitas pada masa itu. Terlepas dari itu, Gie
bukanlah intelektualitas kosongan yang tidak pernah akrab dengan beberapa
karya-karya besar seperti karya Auguste Comte, Herbert Spencer, Shakespere dan
Tan Malaka. Idealisme Gie terbentuk dari proses linguistik yang tidak bersifat
kontemplatif ketika berada di kamar mandi, tetapi menempuh proses panjang kerja
intelektual dan dorongan kuat dari realitas sosial politik pada waktu itu.
Kejujuran dalam catatan-catatan Gie,
suka tidak suka, cukup mempengaruhi kultur membaca pemuda-pemuda kebanyakan.
Dorongan kuat untuk beranjak memang lebih kuat dirasakan jika sering kali
mempertanyakan secara kritis banyak hal yang “Ada” untuk dipejalari kembali.
Proses linguistik yang terus-menerus niscaya akan berguna asal dengan tujuan yang
tetap berpihak pada kelas marginal.
Pram dan Gie bukan hanya hebat di
jamannya dalam penulisan sastra tetapi hingga masa kini pun karya keduanya
masih relevan untuk bahan bacaan untuk para pemuda-pemuda di segala medan keruwetannya.
Khususnya, pembaca awam yang berniat baru memulai bermesraan dengan sastra dan
“membaca” itu sendiri, seperti yang dulu pernah saya alami. Karya Pram dan Gie
cocok betul sebagai hidangan pembuka.
Oleh
: Darius Tri Sutrisno
Menarik tulisanmu Tri. Semoga banyak pemuda-pemudi yang ikut tertarik baca buku berbobot dan berkualitas untuk membuka wawasan. Terus semangat menulis untuk perubahan.
BalasHapussujud salut, tulisan yang sangat memotivasi untuk menziarahi hidup Pram dan Gie lagi
BalasHapus