Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Selasa, 24 Juli 2018

Sekamar 7 Orang

Inilah ceritaku, tentang peliknya hidup sebagai orang miskin yang tak punya “rumah” bagi keluarga. Tetangga kamar kost ku adalah seorang perempuan(60) sebut saja Bu Mawar, dengan dua anaknya yang sudah dewasa. Suaminya bekerja di Mojokerto bersama anak bungsunya yang masih sekolah SMA. Dua minggu sekali sang suami datang ke Surabaya untuk menyerahkan uang belanja. Biasanya Rp. 200.000. Konon di Surabaya ini dia juga punya anak yang sudah berumah tangga. Entahlah, aku tak tahu persis berapa jumlah anaknya. Satu anak yang tinggal dengan dia di kost adalah seorang remaja (22) dengan kondisi mengalami kelumpuhan. Ibu kost sering menjenguk si anak ini. Tak jarang beliau membawakan makanan dan obat-obatan. Maklum, keluarga ini sehari-hari berusaha bertahan dengan penghasilan anak perempuannya yang bekerja sebagai penjaga toko minyak wangi dengan upah 1,1 juta perbulan. Mana cukup? Segala urusan yang menyangkut pengeluaran uang harus ekstra ketat, singkatnya apapun harus hemat.


Suatu kali ibu kost membantu si remaja dengan mengirimnya ke sebuah klinik terapi. Syukurlah, dia sekarang sudah mulai bisa duduk sendiri. Tapi kondisi yang mulai membaik ini menimbulkan masalah juga. Masalah penghematan. Bu Mawar mengeluh karena setelah diterapi si remaja makannya jadi tambah banyak dan gampang lapar. Ya mungkin secara alamiah badan menuntut asupan makanan lebih untuk membantu proses penyembuhan.

Siang itu ibu kost dikejutkan oleh suara tangisan dari dalam kamar. Setelah dicek, ternyata si remaja sedang menangis karena kelaparan. Tentu ibu kost kaget karena beberapa jam sebelumnya dia mengantar nasi bungkus untuk sarapan. Eh..ternyata nasi bungkus dari ibu kost cuma diberikan separo, yang separo disimpan oleh Bu Mawar untuk makan nanti siang. Tentu saja ibu kost marah besar. Kok teganya ngasih makan anak yang sedang dalam proses penyembuhan hanya dengan separo bungkus. “Sekarang dia gampang lapar, sebentar-sebentar minta makan, ya terpaksa saya berikan separo supaya nanti kalau minta makan lagi masih ada yang bisa saya berikan.” Kata bu Mawar di sela isakan tangisnya.

Tetapi ada yang lebih membuatku geleng-geleng. Setahuku, Bu Mawar tinggal di kamar dengan 2 anaknya. Tetapi hampir setiap malam sekitar jam 24-an, selalu terdengar suara orang masuk kamar. Pagi buta sudah terdengar bunyi orang mandi tak ada habisnya. Aku tergoda untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wow..tiap malam beberapa orang masuk dalam kamar Bu Mawar. Pagi pagi sekali mereka sudah menghilang. Ternyata itu adalah “akal bulus” keluarga ini. Total anggota keluarga sebenarnya adalah 7 orang. Karena tak mampu membayar kontrakan, maka Bu Mawar memita ijin untuk ngekost dengan membawa 2 anaknya. Ibu kost tak keberatan dan memperbolehkan tinggal. Terus anggota keluarga yang lain bagaimana? Inilah kisahnya, setiap malam satu per satu anggota keluarganya menyelinap masuk ke dalam kost agar bisa beristirahat.

Tentu awalnya tidak ada orang yang tahu karena mereka masuk kamar pada jam-jam orang terlelap. Tetapi betapa kagetnya ibu kost karena tagihan air membengkak berkali-kali lipat. Entah dari mana ibu kost mengetahui hal ini, tapi akhirnya semuanya terungkap. Dengan sangat terpaksa ibu kost meminta Bu Mawar beserta keluarganya keluar dari rumah kost itu lantaran tidak jujur dan merugikan orang lain. Di satu sisi ibu kost merasa tak tega harus bersikap tegas seperti itu apa lagi kalau melihat kondisi si remaja yang masih terbaring sakit. Andai saja Bu Mawar bilang dengan terus terang dari awal mengenai kondisinya. Tetapi di sisi lain, kondisi keterbatasan yang sedemikian parah membuat Bu Mawar akhirnya bersiasat seperti itu. Satu hal lagi temuan tentang betapa beratnya hidup di kota besar. Tak ada tempat berbaring bagi punggung orang miskin yang penat dan kelicikan terpaksa dilakukan karena tidak ada pilihan lain.

Oleh : Johanes Lasmidi
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 95, Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar