Inilah ceritaku, tentang peliknya hidup sebagai orang miskin yang
tak punya “rumah” bagi keluarga. Tetangga kamar kost ku adalah seorang
perempuan(60) sebut saja Bu Mawar, dengan dua anaknya yang sudah dewasa.
Suaminya bekerja di Mojokerto bersama anak bungsunya yang masih sekolah SMA.
Dua minggu sekali sang suami datang ke Surabaya untuk menyerahkan uang belanja.
Biasanya Rp. 200.000. Konon di Surabaya ini dia juga punya anak yang sudah
berumah tangga. Entahlah, aku tak tahu persis berapa jumlah anaknya. Satu anak
yang tinggal dengan dia di kost adalah seorang remaja (22) dengan kondisi
mengalami kelumpuhan. Ibu kost sering menjenguk si anak ini. Tak jarang beliau
membawakan makanan dan obat-obatan. Maklum, keluarga ini sehari-hari berusaha
bertahan dengan penghasilan anak perempuannya yang bekerja sebagai penjaga toko
minyak wangi dengan upah 1,1 juta perbulan. Mana cukup? Segala urusan yang
menyangkut pengeluaran uang harus ekstra ketat, singkatnya apapun harus hemat.
Suatu kali ibu kost membantu si remaja dengan mengirimnya ke
sebuah klinik terapi. Syukurlah, dia sekarang sudah mulai bisa duduk sendiri.
Tapi kondisi yang mulai membaik ini menimbulkan masalah juga. Masalah
penghematan. Bu Mawar mengeluh karena setelah diterapi si remaja makannya jadi
tambah banyak dan gampang lapar. Ya mungkin secara alamiah badan menuntut
asupan makanan lebih untuk membantu proses penyembuhan.
Siang itu ibu kost dikejutkan oleh suara tangisan dari dalam
kamar. Setelah dicek, ternyata si remaja sedang menangis karena kelaparan.
Tentu ibu kost kaget karena beberapa jam sebelumnya dia mengantar nasi bungkus
untuk sarapan. Eh..ternyata nasi bungkus dari ibu kost cuma diberikan separo,
yang separo disimpan oleh Bu Mawar untuk makan nanti siang. Tentu saja ibu kost
marah besar. Kok teganya ngasih makan anak yang sedang dalam proses penyembuhan
hanya dengan separo bungkus. “Sekarang dia gampang lapar, sebentar-sebentar
minta makan, ya terpaksa saya berikan separo supaya nanti kalau minta makan
lagi masih ada yang bisa saya berikan.” Kata bu Mawar di sela isakan tangisnya.
Tetapi ada yang lebih membuatku geleng-geleng. Setahuku, Bu Mawar
tinggal di kamar dengan 2 anaknya. Tetapi hampir setiap malam sekitar jam 24-an,
selalu terdengar suara orang masuk kamar. Pagi buta sudah terdengar bunyi orang
mandi tak ada habisnya. Aku tergoda untuk mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Wow..tiap malam beberapa orang masuk dalam kamar Bu Mawar. Pagi pagi
sekali mereka sudah menghilang. Ternyata itu adalah “akal bulus” keluarga ini.
Total anggota keluarga sebenarnya adalah 7 orang. Karena tak mampu membayar
kontrakan, maka Bu Mawar memita ijin untuk ngekost dengan membawa 2 anaknya.
Ibu kost tak keberatan dan memperbolehkan tinggal. Terus anggota keluarga yang
lain bagaimana? Inilah kisahnya, setiap malam satu per satu anggota keluarganya
menyelinap masuk ke dalam kost agar bisa beristirahat.
Tentu awalnya tidak ada orang yang tahu karena mereka masuk kamar
pada jam-jam orang terlelap. Tetapi betapa kagetnya ibu kost karena tagihan air
membengkak berkali-kali lipat. Entah dari mana ibu kost mengetahui hal ini,
tapi akhirnya semuanya terungkap. Dengan sangat terpaksa ibu kost meminta Bu
Mawar beserta keluarganya keluar dari rumah kost itu lantaran tidak jujur dan
merugikan orang lain. Di satu sisi ibu kost merasa tak tega harus bersikap
tegas seperti itu apa lagi kalau melihat kondisi si remaja yang masih terbaring
sakit. Andai saja Bu Mawar bilang dengan terus terang dari awal mengenai
kondisinya. Tetapi di sisi lain, kondisi keterbatasan yang sedemikian parah
membuat Bu Mawar akhirnya bersiasat seperti itu. Satu hal lagi temuan tentang
betapa beratnya hidup di kota besar. Tak ada tempat berbaring bagi punggung
orang miskin yang penat dan kelicikan terpaksa dilakukan karena tidak ada
pilihan lain.
Oleh : Johanes Lasmidi
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No. 95, Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar