Hujan sejak sekitar pukul 2 dini hari belum juga reda padahal saat
ini sudah hampir jam 10 pagi. Pasti tidak ada mamang (sebutan untuk penjual
sayur keliling) yang akan lewat. Masih ada 8 atau 9 km lagi jalan yang hancur
dan sulit dilewati jika hujan. Selain licin juga penuh lumpur, sehingga mobil
yang dobel gardan saja sering mogok dan harus ditarik oleh alat berat. Apalagi
mamang naik motor, pasti akan berpikir berulang kali untuk melewati jalan yang
hancur gitu. Benar saja sampai jam 13 an meski hujan sudah reda, mamang penjual
sayur tidak ada satu pun yang muncul. Beberapa orang pun mengeluh hal yang
sama. Tidak ada sayur untuk dimasak.
Kulihat di dapur masih ada beberapa timun yang sudah beberapa hari
dan kacang panjang yang sudah layu. Beberapa warnanya sudah agak kekuningan.
Kupikir masak apa hari ini dengan dua sayuran macam begitu. Apakah dibuat sayur
asem atau lodeh. Sambil berpikir masak apa aku bersyukur masih ada sayur meski
sudah layu. Aku teringat beberapa tahun lalu saat masih berada di Manila. Salah
satu kegiatan adalah berkunjung ke Payatas. Payatas adalah sebuah daerah tempat
pembuangan sampah di Quezon City. Konon luas tempat pembuangan sampah itu
sekitar 25 ha.
Di tengah lautan sampah itu berdiri gubuk-gubuk para pemulung
membentuk perkampungan-perkampungan kecil. Orang-orang disitu hidup di tengah
sampah. Jangan bertanya soal kesehatan dan kebersihan. Tubuh orang Payatas pun
baunya sudah seperti sampah, sehingga saat naik jeepney, orang akan mudah
mengenali jika ada orang dari Payatas, sebab baunya sampah dan selalu membawa
sebuah handuk kecil untuk melap keringat.
Suatu hari saat mengunjungi sebuah keluarga, aku diajak oleh tuan
rumah untuk pergi bersama dia mencari sayuran. Menurutku hampir setiap menit
ada truk yang penuh bermuatan sampah datang dan membuang muatannya. Saat sampah
tumpah dari truk maka kami harus cepat mengambil apa yang kira-kira dapat
diambil. Saat itu aku fokus mencari sayuran. Ada banyak sayuran yang tumpah
dari truk. Kuambil saja yang dekatku. Ada terong, kubis, kentang dan
sebagainya. Aku dan bapak itu mengumpulkan dan memasukkan kedalam karung.
Sampai rumah, istri bapak itu memilah-milah sayuran. Misalnya
terong. Bagian yang busuk di potong dan yang dianggap masih bagus dimasukan
panci. Di dapur ada seekor babi putih yang besar. Sayuran yang busuk
dilemparkan begitu saja ke depan babi. Dia makan dengan lahap. Setelah semua
sayur selesai dipilah, maka istri bapak itu mulai masak. Kami pun makan
masakannya.
Saat makan kami duduk di lantai dekat babi. Kupikir aku makan sisa
babi atau babi makan sisaku? Aku tidak tahu. Aku dan babi sama-sama makan sisa
sayuran yang sudah dibuang dan dianggap sampah. Seorang teman mengingatkan agar
aku tidak minum apalagi makan bersama mereka. Tetapi aku tidak bisa menolak
saat mereka menawari makan. Apalagi sayuran tadi aku juga turut mencarinya.
Kupikir jika orang itu mampu mengapa aku tidak mampu bertahan dalam situasi
seperti itu. Aku hanya siang itu saja makan, sedangkan orang itu setiap hari
makan seperti itu. Orang itu sehat. Maka aku yakin pasti aku juga akan sehat.
Kalau toh sakit perut ya kupikir sebagai konsekwensi sebuah pilihan. Setelah
aku makan temanku ngomel dengan penuh ancaman bahaya sakit.
Pengalaman itu membuatku berani makan sembarangan makanan. Pada
saat berteman dengan anak jalanan aku pun tidak takut saat diajak hoyen
(mencari makanan sisa di tong sampah sebuah mall). Bagiku hoyen lebih bersih
dibandingkan saat di Payatas. Hoyen masih mendapat sisa daging ayam, sedangkan
di Payatas hanya sisa sayur saja.
Pengalaman buruk bisa menjadi pijakan untuk menghadapi situasi
buruk yang lain. Bagiku jika aku bisa bertahan dalam suatu situasi buruk maka
aku akan mampu bertahan pada situasi buruk yang lain. Terlebih aku bisa
bersyukur dalam situasi yang tidak baik seperti saat ini, dimana aku hanya
mempunyai mentimun dan kacan yang sudah layu dan agak kekuningan. Bagiku ini
lebih bagus dibandingkan sayuran di Payatas.
Maka jangan mudah mengeluh atau putus asa saat kita masuk dalam
penderitaan. Pada saat itu bahkan kita bisa belajar untuk bertahan dalam
penderitaan lain. Atau belajar bersyukur saat menghadapi situasi dan keadaan
yang tidak kita harapkan. Kita juga dapat bertanya pada diri sendiri, jika
orang lain mampu bertahan menghadapi yang jauh lebih berat mengapa kita tidak
mampu. Puncaknya adalah melihat salib. Jika Yesus mampu bertahan mengapa aku
tidak? Jangan mengatakan bahwa Yesus mampu bertahan sebab Dia Putra Allah. Kita
perlu ingat bahwa Yesus pun manusia, sehingga Dia pun berteriak Allah ya
Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku? sebuah teriakan dari orang yang sangat
menderita.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 94, April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar