Jumat, 28
September 2018
Menjelang sore hari, ketika sedang menunggu travel
menuju Balikpapan, muncul notifikasi gempa di aplikasi handphone. Palu gempa
7,4 skala richter berpotensi tsunami. “Pasti bakal lebih parah dari lombok ini”
batinku. Dalam pikiranku, 12 hari ke depan aku libur, kalo ada tim yang
berangkat, aku siap berangkat.
Sabtu Minggu hanya dihabiskan untuk memulihkan
tenaga dan memantau kondisi Palu di televisi. Pemberitaan masif sekali,
telekomunikasi putus, akses masuk sulit. Jalan darat putus dan banyak
penjarahan. Jalur udara hanya bisa dilewati pesawat militer dikarenakan bandara
rusak dan menara ATC roboh. Penerbangan komersil otomatis lumpuh.
Tanpa pikir panjang aku segera berkoordinasi
dengan tim SRK, tim di lombok sebulan lalu, ternyata mereka masih menunggu evaluasi.
Sempat daftar ke beberapa komunitas relawan,
gayung tak bersambut, diremehkan bahkan tidak direspon sama sekali.
Senin, 1
Oktober 2018
Masih mencoba mencari cara masuk ke Palu,
menawarkan diri ke komunitas susteran. Siapa tau ada yang butuh medis.
Menjelang tengah hari, ada yang menelpon, kalau
mau bergabung dengan tim dari Jakarta, silahkan masuk Palu via laut. Tak
disangka beberapa menit sesudahnya, ada teman yang share jadwal kapal di grup
wa.
Tanya sana-sini, akhirnya ada teman baik yang mau
bantu urus tiket kapal, cukup bayar 145 ribu. Fix, malam ini berangkat ke Palu
dengan KM. Bukit Siguntang.
Aku tak pernah menginjakkan kaki di Sulawesi,
punya teman atau saudara pun tidak.
Beberapa teman berusaha membujukku, agar
mengurungkan niat ke Palu, isu keamanan dan penjarahan beredar luas di medsos.
“Ah Tuhan pasti menjagaku”, jawabku singkat.
Sorenya dihabiskan buat packing dan belanja
logistik buat 2 hari ke depan. Pukul 8 malam, ada teman yg menawarkan untuk
naik Susi Air saja, dia akan bantu urus. Karena tidak ada kepastian sampai
tengah malam, akhirnya diputuskan masuk lewat jalur laut saja.
Selasa, 2
Oktober 2018.
Ternyata kapal sandar telat dari jadwal, kulirik
jam, sudah masuk jam 2 dini hari. Dibantu teman masuk ke kapal, langsung menuju
dek 6. Akhirnya ketemu dengan beberapa ABK, dengan wajah memelas minta tolong
untuk dicarikan kamar. Wow, tak disangka diberi kamar kelas 1, fasilitasnya
jangan ditanya, ada AC, 2 bed, kamar mandi dalam, dan yang paling ajaib bisa
mandi air panas.
“Ah perjalanan sekitar 10 jam bisa digunakan buat beristirahat sebelum tempur”, pikirku.
“Ah perjalanan sekitar 10 jam bisa digunakan buat beristirahat sebelum tempur”, pikirku.
Kejutannya tidak berhenti di situ, ternyata
sekamar dengan kakak kelas satu almamater, FK UWKS 1997, dr. Subhan, beliau
bekerja di IGD RSUD Undata Palu. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul selama
perjalanan.
Pukul 17.00, kapal mulai merapat ke Pelabuhan
Pantoloan Palu, terlihat sisi kiri terdampak tsunami namun tidak parah. Setelah
sekitar 2 jam menunggu, akhirnya kami dijemput ambulance tempat kerja dokter
Subhan. Sepanjang jalan gelap, listrik masih padam, seperti kota mati rasanya.
Sekitar 20 menit kami mulai memasuki daerah pergudangan Mamboro, tercium bau
busuk yg menyengat, di kegelapan aku bisa terlihat bagaimana tsunami
memporak-poranda kan daerah itu.
Masuk RSUD Undata, lebih miris lagi, lebih dari
200 kantung jenazah disusun di parkiran depan IGD. Baunya jangan ditanya.
“Bagaimana tenaga medis bisa bekerja dengan bau busuk seperti itu”, batinku.
Akhirnya malam itu bs bergabung dengan tim
Jakarta, sudah ada 5 dokter dan 5 perawat. Ditutup dengan tidur kelelahan.
Rabu, 3
Oktober 2018.
Hari ini dihabiskan dengan pengobatan di halaman
kantor Kejaksaan Tinggi Palu. Lumayan hampir 200 orang yang mendapat pelayanan
kesehatan. Ada sebagian tim yang asesmen untuk menyusun rencana esok.
Kamis, 4
Oktober 2018.
Bersama tim mulai bergerak ke lereng gunung, ke
arah stadion Palu. Cukup banyak penyintas disini, dan belum mendapat pelayanan
medis. Kami melayani sampai tengah hari, lalu tim bergerak lagi ke arah
mamboro. Disitu kami mendapat penyintas yg mengalami patah tulang kaki. Kondisi
stabil dan sudah di imobilisasi. “Siapa yang spalk kaki ibu?”, tanyaku.
“Kemaren sudah ke RS dok, dikasih perban ini, lalu disuruh pulang”, kata ibu
tersebut. Miris dengarnya, memang dalam bencana seperti ini penanganan pasien
berdasarkan prioritas. Pasien yg stabil dan masih bisa menunggu, disuruh pulang
dulu.
Aku langsung kontak dokter David, teman sejak TK, calon bedah orthopedi, diperbantukan di RS Bhayangkara Palu buat penanganan bencana.
Jumat, 5 Oktober 2018.
Pagi hari, dapat kabar kalau ibu yang kemaren akan
dievakuasi ke RS, dan segera dioperasi. Terima kasih ya Vid.
Tim kami bergerak ke arah Donggala, sepanjang jalan melewati daerah yang terdampak tsunami. Setelah dilakukan asesmen singkat, akhirnya kami membuka posko kesehatan di Limboro KM 8, Donggala, kami tim medis pertama yang tiba. Daerah ini cukup aman, karena terletak di dataran tinggi, air melimpah. Ada kejadian cukup miris, truk di depan kami yang membawa beras, di cegat, lalu dijarah isinya. Para penyintas cukup kecewa, karena rombongan puluhan truk hanya lewat saja, tanpa memberi bantuan ke mereka. Malam itu sepanjang perjalanan pulang, aku dan beberapa teman tertidur di bak belakang truk.
Sabtu, 6
Oktober 2018.
Tim mulai bergerak ke kabupaten Sigi, melewati
Petobo, Balaroa dan Jono Oge, daerah yg paling berdampak karena likuifaksi.
Kami menyasar camp-camp penyintas yang belum terjamah. Kondisi mereka cukup
memprihatinkan, bantuan hanya sedikit yang tiba.
Minggu, 7
Oktober 2018.
Rombongan pulang pagi ini, itu berarti aku tak
punya tim untuk bergerak di Palu.
Setelah mengantar rombongan ke bandara, aku mulai merapat ke Paroki Santa Maria Palu. Berharap ada posko kesehatan disana yang mau menampungku selama 3 hari ke depan. “Di susteran minimal aku tidak kelaparan”, batinku. Ternyata sudah ada dokter Samuel dan Bang Herman dari Trinitas Cengkareng. Tim sudah bergerak dan agaknya aku kesiangan merapat. Seharian hanya dihabiskan “jaga kandang” saja, melayani di posko paroki, cukup banyak yang berobat hari itu. Tiba-tiba seorang bapak berlari, menggendong batita yang kejang demam. Duh, mana ada stesolid di daerah bencana gini. Akhirnya setelah kompres sana sini, panas turun dan kejangnya berhenti.
Sorenya ketambahan personil, dokter Leo dan dokter Lato merapat.
Setelah mengantar rombongan ke bandara, aku mulai merapat ke Paroki Santa Maria Palu. Berharap ada posko kesehatan disana yang mau menampungku selama 3 hari ke depan. “Di susteran minimal aku tidak kelaparan”, batinku. Ternyata sudah ada dokter Samuel dan Bang Herman dari Trinitas Cengkareng. Tim sudah bergerak dan agaknya aku kesiangan merapat. Seharian hanya dihabiskan “jaga kandang” saja, melayani di posko paroki, cukup banyak yang berobat hari itu. Tiba-tiba seorang bapak berlari, menggendong batita yang kejang demam. Duh, mana ada stesolid di daerah bencana gini. Akhirnya setelah kompres sana sini, panas turun dan kejangnya berhenti.
Sorenya ketambahan personil, dokter Leo dan dokter Lato merapat.
Senin, 8
Oktober 2018.
Rencana hari ini ke arah pegunungan Sigi, memang
tidak terlalu berdampak tetapi petugas kesehatan di desa tersebut tidak ada,
ikut mengungsi. Kami memberikan pelayanan kesehatan di desa Bunga. Cukup
banyak, sekitar 120 orang yang dilayani.
Selasa, 9
Oktober 2018.
Pagi ini cukup heboh, gempa 5,2 skala richter membangunkan kami.
Tim mendapat info bahwa di daerah setelah Mamboro ada 170 KK yang belum tersentuh medis. Sesampai di lokasi, ada tim kesehatan dari salah satu partai yang baru saja tiba. Kami memilih untuk bergeser, melayani lebih ke atas dan bawah.
Rabu, 10
Oktober 2018.
Pagi ini terpaksa harus terbang ke Balikpapan,
karena sorenya harus kerja di site. Cukup berat bagiku untuk meninggalkan Palu,
Sigi dan Donggala.
Semua Perjalanan selalu ditutup dengan pulang,
entah perjalanan itu jauh dan panjang, atau kah hanya trip singkat akhir
minggu, atau hanya sekedar ke kantor sehari-hari, kita butuh pulang.
Mungkin itu memang hakikat perjalanan, memberi kesempatan kita untuk mengingat orang yang kita cintai. Memberi arti “menanti” bagi mereka. -Adinda Thomas-
Terima kasih untuk canda, tawa, kebersamaan, dan
semangat untuk tidak menyerah kali ini. Selamat melayani. Tuhan bersama kalian,
para pejuang kemanusiaan.
Beberapa foto dr. Bowo :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar