Beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk vegetarian. Aku tidak
makan daging, ikan, telur bahkan kuah daging pun tidak. Aku memutuskan
vegetarian bukan karena perintah dokter atau agama, tetapi aku merasa sedih
saat melihat anak-anak jalanan begitu “rakus” makan daging ayam meski hasil
hoyen (mencari makan di tempat sampah). Pernah juga ditulis dalam koran ada
orang mati karena makan daging sapi. Dia sangat jarang makan daging. Ketika ada
sapi tertabrak truk dan mati, maka kesempatan baginya dan semua penduduk
kampung makan daging. Begitu semangatnya makan sampai meninggal dunia. Ada
banyak orang yang tidak mampu makan daging dan ikan. Maka aku putuskan
vegetarian untuk solider dengan mereka.
Dengan statusku sebagai imam di kota besar menjadi vegetarian
bukan hal yang mudah. Pernah aku diundang ke pesta pernikahan anak seorang
kenalan dekat. Dia mengadakan pesta di sebuah tempat yang mewah. Aku duduk
dengan beberapa orang tamu mengelilingi meja besar yang penuh hidangan.
Hidangan semua mengandung daging atau ikan. Semua orang yang duduk semeja
denganku menatap heran saat aku menolak makan. Beruntung pemilik pesta ingat
aku sehingga dia datang sambil membawa rantang kecil berisi nasi, sambel terong
dan tahu goreng. Lalu aku jelaskan bahwa aku vegetarian.
Suatu hari ada pesta di sebuah paroki. Mereka mengundang banyak
pedagang makanan. Salah satunya pedagang tahu campur. Bau kuah tahu campur itu
begitu menggoda. Ini makanan kesukaanku. Ingin rasanya aku masuk dalam antrian
tahu campur. Toh banyak orang tidak tahu kalau aku vegetarian. Aku juga bebas
memutuskan untuk tetap vegetarian atau tidak. Tapi bagiku inilah tantangan dan
cobaan. Sejauh mana aku konsisten dengan pilihan hidupku. Aku menjadi
vegetarian bukan paksaan, tetapi pilihanku sendiri. Semua tergantung pada
niatanku. Aku mau melanjutkan atau tidak itu urusanku, sebab pilihan bebasku.
Aku tidak bisa melarang orang menjual tahu campur. Atau melarang romo paroki
mengundang pedagang tahu campur. Maka saat itu aku hanya bisa menelan air liur.
Vegetarian adalah pilihan hidup secara bebas. Jika sebuah pilihan
bebas, maka aku harus menghargai pilihan bebas orang lain. Aku tidak dapat
memaksakan pilihan hidupku pada orang lain seolah pilihanku yang paling benar.
Semua orang berhak memilih yang terbaik bagi mereka. Tetapi jika menjadi
vegetarian adalah suatu paksaan maka aku menjalaninya dengan terpaksa. Tidak
iklas dan tidak sepenuh hati. Tidak tahu tujuan mengapa menjadi vegetarian.
Atau hanya sekedar untuk pamer kehebatan. Jika tidak mempunyai semua dasar itu
maka bisa marah saat melihat orang tidak vegetarian. Kemarahan itu bukan
berdasarkan niat yang baik, tetapi karena aku iri mengapa orang makan daging
sedangkan aku tidak boleh. Atau wujud kesombongan diri atau pamer seolah
menjadi vegetarian adalah pilihan hidup yang paling hebat dan benar. Jika
demikian maka aku lupa bahwa aku hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Di
tengah orang yang meyakini kebenaran pilihan hidupnya masing-masing.
Oleh karena itu apapun pilihan hidup kita harus didasari dengan
pilihan bebas, keiklasan dan tahu tujuannya. Lalu membatinkan semua itu. Setiap
pilihan hidup bukanlah sarana untuk pamer atau kesombongan, melainkan keinginan
untuk menjalankan prinsip hidup yang kita yakini. Jika belum yakin akan
tujuannya maka sebaiknya jangan lakukan. Hal itu akan menumbuhkan kemarahan
jika melihat orang lain mempunyai pilihan yang berbeda dari kita.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 97, Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar