Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Senin, 24 Juni 2019

Mengijinkan Anak Bertanya “Mengapa”


Ada cukup banyak keluarga Indonesia di Amerika yang memulangkan anaknya ke Indonesia untuk sekolah di tanah air. Ketika ditanya alasannya, beberapa menjawab: “Pendidikan di sini mengerikan. Anak-anak menjadi nakal, tidak sopan terhadap orang tua, dikit-dikit bertanya ‘kenapa’”. Terkadang mereka menegaskan “Lebih baik dididik sopan santun di Indonesia”

Pernyataan tersebut meyiratkan apa yang sudah ditradisikan di Indonesia bahwa anak sopan itu mestinya tidak bertanya-tanya “mengapa”. Banyak orang tua, bahkan guru, yang berkesimpulan bahwa anak tak perlu menanyakan alasan melakukan sesuatu, cukuplah melakukan, melakukan, dan melakukan. Anak yang dianggap saleh dan pintar adalah yang cepat mengatakan “ya” tanpa mempertanyakan apapun. 


Tanpa kita sadari, kita telah mengubur hasrat kritis yang menjadi kemampuan dasar manusia. Adakah yang harus disalahkan ketika anak didik kita tumpul dalam menganalisa? Siapa yang harus diajak bicara ketika melihat anak kita tak siap menghadapi perbedaan pendapat? Bagaimana kita akan menelusuri mental “yes man”, yang mendarah daging di dunia kerja? Semua tak lepas dari lemahnya mata rantai pendidikan kita mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang tak memberi ruang kepada anak kita untuk bertanya “mengapa”

Paling Sulit
Harus diakui, menjawab pertanyaan ‘mengapa’ memang melelahkan bagi siapapun.  Ketika anak kita masih kecil dan bertanya, “Itu apa Ma?” Tak sulit bagi kita menjawab “Itu pohon”. Namun kernyit kening akan mulai mewarnai dahi kita ketika ditanya, ‘Mengapa pohonnya menjadi besar, mengapa daunnya hijau, mengapa dahannya ada yang besar ada yang kecil’,  dan sebagainya. Tak jarang kata kasar muncul sekedar untuk menghentikan anak bertanya yang “aneh-aneh”. Secara alamiah pertanyaan kritis sudah akan membebani kita. Tak heran kalau hari demi hari kita mencoba menyingkiri pertanyaan yang demikian. Dan tanpa terasa pengalaman sulit itu telah melahirkan sebuah kesimpulan bahwa bertanya “mengapa” itu tidak diijinkan. 

Sanggar “MENGAPA” 
Sanggar Merah Merdeka (SMM) bukan menyediakan tempat di mana anak-anak melulu mengenyam pendampingan belajar akademik, bukan juga melulu untuk mengembangkan kesenian tari, suara, atau lukis. Dengan segala keterbatasannya, Sanggar ini memberi ruang kritis anak-anak untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’ lewat kegiatan akademik dan non akademik. Meski melelahkan, anak-anak tetap diajak belajar berinteraksi tentang dunianya, tentang kondisi lingkungannya, mengapa tak boleh berputus asa. Mereka diajak memahami bersih atau kotor rumahnya, untuk menjawab mengapa mereka memerlukan udara, air, makanan yang bersih dan sehat. Mereka berbicara tentang sampah yang terurai dan tak terurai, untuk mengatakan mengapa kita harus membuang atau memanfaaatkannya secara berbeda. Mereka berbicara tentang menabung, untuk menjawab mengapa mesti mereka yang paling bertanggungjawab atas masa depan sekolahnya. Mereka harus belanja untuk acara-acara bersama, untuk menjawab mengapa mereka harus menata keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan.  Masih banyak latihan yang lain lagi.

Seandainyapun mereka tak mendapatkan kesempatan sekolah karena keadaan ekonomi mereka, berharap kelak mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri mulai dari pikiran mereka; sebuah pikiran yang tak takut bertanya “mengapa” sampai mereka harus menghidupi fase hidup berikutnya.

Oleh : Rm. Ignatius Suparno CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 97, Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar