Ada cukup banyak keluarga Indonesia di
Amerika yang memulangkan anaknya ke Indonesia untuk sekolah di tanah air.
Ketika ditanya alasannya, beberapa menjawab: “Pendidikan di sini mengerikan.
Anak-anak menjadi nakal, tidak sopan terhadap orang tua, dikit-dikit bertanya
‘kenapa’”. Terkadang mereka menegaskan “Lebih baik dididik sopan santun di
Indonesia”
Pernyataan tersebut meyiratkan apa yang
sudah ditradisikan di Indonesia bahwa anak sopan itu mestinya tidak
bertanya-tanya “mengapa”. Banyak orang tua, bahkan guru, yang berkesimpulan
bahwa anak tak perlu menanyakan alasan melakukan sesuatu, cukuplah melakukan,
melakukan, dan melakukan. Anak yang dianggap saleh dan pintar adalah yang cepat
mengatakan “ya” tanpa mempertanyakan apapun.
Tanpa kita sadari, kita telah mengubur
hasrat kritis yang menjadi kemampuan dasar manusia. Adakah yang harus
disalahkan ketika anak didik kita tumpul dalam menganalisa? Siapa yang harus
diajak bicara ketika melihat anak kita tak siap menghadapi perbedaan pendapat?
Bagaimana kita akan menelusuri mental “yes man”, yang mendarah daging di dunia
kerja? Semua tak lepas dari lemahnya mata rantai pendidikan kita mulai dari
keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang tak memberi ruang kepada anak kita
untuk bertanya “mengapa”
Paling
Sulit
Harus diakui, menjawab pertanyaan
‘mengapa’ memang melelahkan bagi siapapun. Ketika anak kita masih kecil
dan bertanya, “Itu apa Ma?” Tak sulit bagi kita menjawab “Itu pohon”. Namun
kernyit kening akan mulai mewarnai dahi kita ketika ditanya, ‘Mengapa pohonnya
menjadi besar, mengapa daunnya hijau, mengapa dahannya ada yang besar ada yang
kecil’, dan sebagainya. Tak jarang kata kasar muncul sekedar untuk
menghentikan anak bertanya yang “aneh-aneh”. Secara alamiah pertanyaan kritis
sudah akan membebani kita. Tak heran kalau hari demi hari kita mencoba
menyingkiri pertanyaan yang demikian. Dan tanpa terasa pengalaman sulit itu telah
melahirkan sebuah kesimpulan bahwa bertanya “mengapa” itu tidak
diijinkan.
Sanggar
“MENGAPA”
Sanggar Merah Merdeka (SMM) bukan
menyediakan tempat di mana anak-anak melulu mengenyam pendampingan belajar
akademik, bukan juga melulu untuk mengembangkan kesenian tari, suara, atau
lukis. Dengan segala keterbatasannya, Sanggar ini memberi ruang kritis
anak-anak untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’ lewat kegiatan akademik dan non
akademik. Meski melelahkan, anak-anak tetap diajak belajar berinteraksi tentang
dunianya, tentang kondisi lingkungannya, mengapa tak boleh berputus asa. Mereka
diajak memahami bersih atau kotor rumahnya, untuk menjawab mengapa mereka
memerlukan udara, air, makanan yang bersih dan sehat. Mereka berbicara tentang
sampah yang terurai dan tak terurai, untuk mengatakan mengapa kita harus
membuang atau memanfaaatkannya secara berbeda. Mereka berbicara tentang
menabung, untuk menjawab mengapa mesti mereka yang paling bertanggungjawab atas
masa depan sekolahnya. Mereka harus belanja untuk acara-acara bersama, untuk
menjawab mengapa mereka harus menata keseimbangan antara pengeluaran dan
pendapatan. Masih banyak latihan yang lain lagi.
Seandainyapun mereka tak mendapatkan
kesempatan sekolah karena keadaan ekonomi mereka, berharap kelak mereka akan
menjadi orang-orang yang mandiri mulai dari pikiran mereka; sebuah pikiran yang
tak takut bertanya “mengapa” sampai mereka harus menghidupi fase hidup
berikutnya.
Oleh : Rm. Ignatius Suparno CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no. 97, Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar