Sekolah taman kanak-kanak (TK) yang ada dusun Ranjok Timur desa
Mekarsari kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB)
dibangun atas kesadaran pribadi. Orang yang berinisiatif membagun sekolah
adalah Saparman seorang guru SD dan guru ngaji di musholla.
Saparman (50) adalah pria asal Lombok, NTB. Awal mulanya ia tak
tega melihat anak-anak di kampungnya berkeliaran dan bermain yang tak terarah.
Ia akhirnya membangun sekolah TK dengan biaya sendiri dengan gedung sekolah ala
kadarnya. Walaupun uang gedung gratis dan hanya membayar 10.000 per bulan,
sekolah TK yang ia rintis tak berjalan dengan mulus.
Pada saat pertama kali dibuka, hanya sedikit yang mau sekolah
karena kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya masih rendah. Selain
karena faktor ekonomi, mayoritas penduduk disana adalah petani miskin dan buruh
tani.
Bahkan sekolah ini vakum selama setahun karena tidak ada yang mau
membayar SPP. Uang SPP ini digunakan untuk membayar guru yang mengajar di TK.
Ia bingung karena respon masyarakat masih rendah.
Ia tak putus asa untuk terus memperjuangkan masalah pendidikan.
Bermodalkan sebagai guru sekolah dan guru ngaji, ia terus menerus
mensosialisasikan ke orang tua anak yang mengantar anaknya ngaji dan sekolah
SD. Ia menyampaikan pada warga bahwa untuk masuk SD harus sekolah TK dan sudah
harus bisa membaca.
Selain itu, ia menyampaikan pada warga, daripada bermain tanpa
pengawasan orang dewasa, justru lebih berbahaya apalagi mereka tinggal di bukit
yang banyak jurang.
Pelan tapi pasti. Selain pendekatan langsung secara pribadi, ia pernah
suatu waktu mengadakan musyawarah warga yang anaknya ikut mengaji di rumahnya.
Warga akhirnya sadar dan luluh. Anak-anak akhirnya banyak yang sekolah. Sekolah
yang dibangun sejak tahun 2012, sekarang sudah mempunyai murid 30 anak.
Namun, ia sekarang sedih karena sekolah tidak bisa digunakan
karena hancur terkena gempa. Selain sekolah TK, rumah dan mushollanya juga
rusak berat. Ia berharap pemerintah segera membantu pembangunan sekolah TK
sehingga aktivitas belajar bisa segera dimulai.
Saparman mempunyai cita-cita yang tinggi terhadap pendidikan warga
di kampungnya apalagi sekolah SMP jaraknya jauh. Ia teringat waktu ia sekolah
SMP, harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Kuliahnyapun ia harus biaya
sendiri. Di saat kuliah dia bekerja serabutan agar tetap dapat membayar uang
kuliah.
"Saya berkeinginan membangun rumah baca dan sekolah SMP di
kampung agar anak-anak terbiasa membaca sejak dini dan anak-anak sekolahnya
tidak jauh. Tapi buku bacaan belum ada, itu masih rencana. Untuk membangun
sekolahpun belum ada uang," katanya.
"Ia berharap kegiatan belajar anak-anak TK segera berjalan
agar anak-anak tidak stress di posko maupun di rumah. Semoga ada orang yang mau
menyumbang terpal agar dapat digunakan membuka sekolah darurat," imbuhnya.
Anda tertarik membantu menyalurkan buku bacaan dan alat tulis atau
mau membantu pembangunan sekolah?
Oleh : Mahrawi
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio
edisi No. 99, September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar