Beberapa
tahun lalu aku pernah diminta oleh sebuah komunitas untuk memberi rekoleksi.
Oleh karena rekoleksi diadakan diluar kota, maka jam 3 aku siap-siap berangkat.
Sebelum berangkat ke tempat rekoleksi aku harus menjemput beberapa orang yang
akan ikut rekoleksi, sebab mereka tidak mempunyai kendaraan. Saat sedang
menyetir mobil menjemput beberapa orang, teleponku berbunyi. Seorang teman
memberi kabar kalau tetangga depan rumah singgah sakit keras. Dia seorang ibu
yang sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Aku jawab besok saja sepulang
rekoleksi aku akan membawanya ke rumah sakit. Temanku mengatakan kali ini sudah
parah. Aku jawab bahwa aku sedang dalam perjalanan ke luar kota. Akhirnya
telepon ditutup. Sekitar pukul 17.00 aku sudah sampai di tempat rekoleksi.
Teman tadi menelepon lagi dan memberi tahu bahwa ibu itu meninggal dunia.
Timbul rasa sesal dalam hati. Kenapa aku tidak membawanya ke rumah sakit
terlebih dahulu? Mengapa aku mengandaikan bahwa dia akan baikkan lagi seperti
biasanya? Mengapa aku lebih mementingkan memberi rekoleksi daripada menolong
orang? Aku terlambat. Terlambat menolong orang yang seharusnya kutolong.
Pengalaman
itu mengajar aku agar tidak menunda lagi. Kematian tidak ada yang tahu kapan
datangnya. Terkadang kita menunda untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Jika
orang itu meninggal lalu apa yang dapat kita lakukan? Memberi sumbangan pada
keluarga bagiku tidak menyelesaikan pokok masalah. Apalagi menyesali diri.
Tidak ada gunanya. Tuhan sudah memberi waktu dan kesempatan, mengapa kita
mengabaikannya? Terkadang kita mempunyai keinginan untuk berbuat baik, tetapi
keinginan itu kita tunda. Kita ingin berdoa, tetapi kita berjanji pada Tuhan
besok saja kita akan berdoa. Apakah kita yakin besok masih ada waktu dan kesempatan
untuk berdoa? Kita ingin menolong orang atau bertobat, tetapi menunda untuk
melakukan hal itu. Apakah kita yakin masih ada kesempatan untuk melakukannya?
Kita tidak tahu pasti kapan kematian itu datang.
Saat
ini aku sudah merencanakan jauh hari akan datang pada sebuah acara. Beberapa
teman tahu itu. Ketika aku masih belum berangkat, seorang teman bertanya
mengapa aku tidak berangkat? Aku jawab bahwa aku tidak ingin terlambat lagi.
Kemarin ada seorang imam yang mengundangku untuk datang pada pesta perayaan
imamatnya yang ke 50. Aku dapat saja berpikir bahwa masih ada perayaan yang ke
51 atau masih akan ada perayaan 50 tahun di hari yang lain. Tetapi apakah aku
yakin bahwa itu dapat terjadi? Bagaimana bila sebelum semua itu terjadi
kematian datang? Maka aku memutuskan untuk membatalkan rencanaku demi agar aku
tidak terlambat lagi.
Sering
aku mendengar kata sambutan yang penuh puji-pujian pada saat orang sudah
meninggal. Beberapa orang pun bercerita tentang kebaikan atau kedekatan dirinya
dengan orang yang sudah meninggal. Tetapi apakah orang yang sudah meninggal
dunia merasakan kebaikan kita saat dia masih hidup? Apakah segala omong kosong
itu bentuk pembelaan diri atau usaha untuk menutupi keterlambatan kita dalam
menolong atau mengungkapkan kasih kita pada orang yang sudah meninggal? Maka
sebelum semua berakhir, mari kita berbuat agar kita tidak terlambat seperti
yang pernah aku alami.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no.99, September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar