Dengan memanggul
bambu sepanjang 6 meter, tiap-tiap kelompok yang berisikan 10 orang
melangkahkan kakinya menuju area kolam lumpur. Sesampainya di tepian kolam,
tiap kelompok antre untuk mendapatkan giliran masuk ke kolam. Begitu tiba
gilirannya, semua kader wajib mengoleskan lumpur di sekujur tubuhnya.
Begitulah
gambaran salah satu rangkaian proses pelatihan bertajuk “Kampungku Rumahku”
yang berlangsung 6-8 September 2019. Pembinaan Kader Siswa Katolik (KSK) dari
Yayasan Lazaris, Surabaya ini berlangsung di area kemah Griya Samadhi
Vinsensius (GSV), Prigen, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Kala itu, hampir
tak ada yang bisa mengenali wajah para kader begitu mereka keluar dari kolam. Ini
siapa, itu siapa, rupa mereka semua sama. Karena seluruh anggota tubuh dari 51
kader nyaris tertutup dengan lumpur. Yang masih dapat terlihat hanya gigi
berwarna putih dan kedua bola mata. Setelah proses pengolesan lumpur usai,
semua kader tanpa terkecuali mulai meninggalkan area kolam. Tujuan mereka
berikutnya ialah berjalan kaki menuju pemukiman warga yang letaknya tak jauh
dari GSV.
Dengan membentuk
1 barisan panjang, mereka mulai berjalan kaki untuk keluar area GSV. Namun
sebelum melangkah lebih jauh menuju perkampungan warga, mereka diminta berhenti
sejenak untuk mendapatkan arahan dari pelatih mereka. Posisi berhenti yang tak
jauh dari jalan raya membuat mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang
melintas sore itu.
Tak jarang orang-orang
yang sedang lewat menunjukkan ekspresi wajah terheran. Bahkan ada yang tertawa
saat melihat penampilan mereka. Apakah para kader malu? Jelas tidak. Mereka
malah pasang muka riang gembira serta juga masih sempat memberi sapaan kepada sebagian
warga yang melintas di jalan raya.
Proses pembaluran
lumpur, lalu mulai berjalan kaki menuju pemukiman warga semata-mata dilakukan bukan
hanya sekadar untuk melatih mental para kader. Lebih dari itu dulur. Berkaitan
dengan moto KSK yakni “Man For Others” yang berarti manusia bagi orang
lain. Menjadi insan bagi manusia lain yang terpinggirkan sejatinya tak perlu
berusaha untuk menunjukkan wajah asli. Bahkan jika memungkinkan, entah
bagaimana caranya orang lain tak harus mengetahui keberpihakan kita pada kaum
marginal.
Jika yang
menjadi prioritas dari sebuah keberpihakan hanya berupa pengakuan diri dari
orang lain, mending jadi artis atau politikus saja. Kalau memang sudah
memutuskan tuk membaktikan diri bagi manusia lain yang terpinggirkan, pengakuan
diri bukan lagi yang utama. Karena yang terpenting ialah bagaimana proses
permenungan nurani, reaksi, serta aksi dari kita dapat memiliki dampak berarti
bagi manusia lain yang terpinggirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar