ilustrasi : republika.co.id |
Terdengar membanggakan memang kala mengetahui Indonesia masuk dalam jajaran negara paling
dermawan di dunia.
Dalam laporan World Giving Index 2018 yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF),
Indonesia menempati posisi teratas. Hebat
bukan? Hal ini tak lepas dari peran serta kaum
filantropi dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Istilah
filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni philein yang artinya cinta, dan anthropos berarti manusia. Jadi filantropi dapat diartikan sebagai
seseorang yang mencintai sesama berdasarkan nilai kemanusian, sehingga rela
meluangkan waktu, uang, serta tenaganya untuk menolong orang lain.
Dalam indeks tersebut, ada tiga poin penting penilaian. Pertama memberikan sumbangan kepada orang lain. Kedua
mendonasikan uang dan yang ketiga orang-orang yang menjadi sukarelawan
dalam negara tersebut.
Penulis tak sedang membicarakan
kehebatan Indonesia tersebut melainkan kecenderungan sikap sebagian kaum filantropi
terhadap orang yang mereka bantu. Kini mereka lambat laun bertransformasi
menjadi sosok filantropis yang menjemukan
dan kurang elok saat memanusiakan orang yang mereka tolong.
Contoh kasus sederhana
penulis temui di jalanan Kota Surabaya beberapa waktu lalu.
Saat
sedang asyik berkendara, tepat di depan motor penulis ada sebuah mobil yang memperlambat
lajunya di lajur sebelah kiri. Mobil pun seketika berhenti menghadang jalur motor
yang berada di belakangnya. Tak terkecuali motor penulis.
Ternyata
mobil tersebut hendak mendekati 3 orang yang sedang asyik menikmati masa rehat
di bawah pohon rimbun tepi jalan. Ketiga orang tersebut adalah 2
bapak yang
sedang duduk di atas becaknya masing-masing serta
1 pemuda penyapu jalan.
Sembari
membuka kaca mobilnya, kedua tangan manusia yang berada di dalam mobil tampak keluar
menyodorkan paket sembako. Sontak, mereka bertiga dengan sigap berjalan menghampiri
uluran bantuan tersebut.
Selang beberapa
detik saat semua sumbangan sudah berada di tangan penerima, mobil tetap
tak
beranjak pergi. Lalu tiba-tiba
manusia
yang berada di dalam mobil berucap, “Pak, foto dulu sebentar ya!” Seketika itu pula
ketiga pria penerima sumbangan berdiri menghadap ke arah
kamera sambil memegang bantuan. Cekrikkk! Momen “cantik”
pun berhasil diabadikan.
Setelah
mengambil gambar, ucapan terima kasih yang terdengar dari
mulut
ketiga penerima sembako menjadi penutup perjumpaan
mereka. Si pemberi pun menutup kaca mobilnya dan bergegas melanjutkan
perjalanan mencari “target” berikutnya.
Biasanya tak lama
setelah peristiwa seperti itu,
momen
“cantik” hasil tangkapan maupun rekaman dari sebuah kamera akan
segera
beredar di dunia maya. Entah diunggah melalui Instagram, Facebook,
kanal Youtube maupun Whatsapp. Tentunya dengan
disertai aneka kalimat “pemanis” ataupun retorika ala
pembual.
Perbuatan seperti
ini niscaya akan mendatangkan apresiasi dari sebagian besar orang.
Terlebih
jika niat si pengunggah murni ikhlas untuk mengajak atau
menginspirasi manusia lain agar berbuat kebaikan pada sesama. Namun di sisi lain ada pula pribadi-pribadi yang
sekadar mengunggah
momen kebaikan demi tujuan tertentu. Atas
nama kemanusiaan mereka ingin mendapatkan pengakuan diri
dari
orang lain. Seperti pujian, penghargaan, decak kagum, atau bahkan
menginginkan posisi di hati manusia lain dengan memperlihatkan berbagai kebajikan. Seolah-olah apa yang
mereka tunjukkan benar-benar memunculkan kepedulian kepada manusia.
Jadi, untuk
mengakhiri tulisan ini ada secuil pesan picisan dari seorang mantan pembersih
kaca gedung bertingkat. Begini liriknya, “Wahai kaum filantropi menjemukan yang kerap publikasi kebajikan
via berbagai media. Para tukang
becak, tukang sapu jalan, tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima,
pengemis, tuna wisma, buruh pabrikan, serta rakyat kecil pada umumnya bukanlah objek untuk menggenapi hasrat eksistensimu.”
Salam.
Agus Eko
Kristanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar