Warung kopi selalu
menjadi tempat yang asyik bagiku. Walau pun aku sedia kopi di rumah, namun
entah mengapa rasa kopi di warkop terasa lebih nikmat, atau mungkin karena
dibuatkan orang lain?!?!? hehe.
Akhir-akhir ini banyak sekali muncul kedai kopi kekinian atau kafe dengan
konsep yang modern, menu yang tak lazim (bagiku) dan suasana instagramable,
namun entah mengapa warkop tetap menjadi pilihanku untuk menikmati kopi dan
menghilangkan penatku (selain alasan isi dompet juga ).
Pada tahun awal tahun
2015 sampai pertengahan 2016 aku ngekost di kota Surabaya. Sebenarnya sudah
sejak tahun 2011 aku tinggal di kota pahlawan itu, namun sampai tahun 2014
akhir, aku tinggal di Asrama. Kondisinya sangat berbeda sama sekali ketika
berada di asrama dan hidup spartan di kost. Perbedaannya adalah hidup teratur
dan hidup serba tak jelas. Pada saat kost adalah masa di mana aku mengalami
lulus segan ngulang tak mau. Bukan karena apa, tapi karena referensi skripsi
masih mengganjal dibawah bantal dan keantusiasan dosen pembimbing untuk
bertatap muka denganku semakin menurun. Ya gak usah kuceritakan
panjang-panjang, nanti malah tulisan ini jadi novel trilogi, paling tidak
itulah situasi yang kualami saat itu.
Di tengah-tengah
kepenatan mengerjakan skripsi dan tak ada kawan yang telah kukenal, hiburanku
adalah nongkrong di warkop. Di sana aku mulai menjalin relasi sosial dan
memiliki kenalan. Jika kuingat lagi memang menggelikan, di usia maba (mahasiswa
basi) hanya sedikit kenalanku yang berstastus mahasiswa, yang terjalin karena
nongkrong di warkop. Alih-alih dengan mahasiswa, aku justru akrab dengan
orang-orang kampung yang usianya bapak-bapak. Oh iya, sekedar info aku ngekos
di daerah Kejawen Putih Tambak, yang secara geografis dekat dengan ITS.
Pada tahun-tahun tersebut
gadget sudah berkembang pesat dengan androidnya, dan warkop harus peka terhadap
situasi tersebut, salah satunya fasilitas wifi. Sasaran serbu tongkrongan anak
muda saat itu adalah warkop dengan fasilitas wifi. Karena cekaknya dompet dan
suplai dari ortu dengan limit tertentu, akhirnya fasilitas wifi di warkop tidak
dapat kunikmati. Namun justru karena terbatasnya sarana penunjang keatutisan
(hehe) tidak kumiliki aku dapat membuka relasi.
Sejak SMP aku senang dengan batu mulia, karena sering
diajak ayah di Pasar Akik di kota Blitar. Pada saat booming akik, di tahun aku
ngekost, menjadi sarana bagiku untuk berelasi dengan warga kampung sekitar. Berawal
dari mereka tertarik dengan cincin akik yang kukenakan hingga transaksi tunai
atau barter, mencipatakan keakraban diantara kami. Tidak hanya itu, bahkan ada
yang mengajari aku untuk menggosok batu akik, dari bongkahan hingga terpasang
apik di cincin ikatannya.
Aku tidak peduli dengan
ada tidaknya fasilitas wifi di warkop, aku hanya ingin melepas penat dari
usahaku mengejar S1, dan itu dengan menikmati kopi sambil bercengkrama dengan
orang riil. Dari situlah aku mulai dikenal, dan di sapa oleh orang ketika
kebetulan lewat depan rumahnya, bahkan ada yang menawari untuk mampir. Tidak
hanya itu bahkan pernah ketika aku bingung butuh motor dan sambat kepada salah
seorang yang kukenal baik, dia dengan percaya meminjamkan motornya untuk
kupakai ke luar kota.
Warkop tanpa wifi yang
menjadi langgananku terletak tidak jauh dari kost ku. Rutenya adalah dari kost
ke utara, sampai masjid belok kiri lurus wae. Lokasinya nyaman diayomi dengan
pohon kersen (Muntigia Calabura), aku
menyebutnya dengan Warkop sor kersen (warkop di bawah kersen). Warkop itu buka
24 jam dijaga oleh 3 orang secara bergantian. Warkop sor kersen menyediakan
berbagai macam minuman khas warkop, kopi bubuk asli serta minuman sachetan yang
bergelantung rapi dibelakan penjaga warkop. Ada juga menu penunda lapar andalan
anak kos, apalagi kalau bukan Indomie. Jika di pagi hari aku dan pelanggan lain
bisa menjumpai nasi bungkus dengan aneka piliahan lauk untuk sarapan dan juga
gorengan yang menjadi favoritku sebagai penyanding kopi.
Waktu semakin berlalu
dan orang-orang semakin melek gadget. Pada saat ingin nostalgia di warkop sor
kersen, setelah tiga tahun meninggalkan Surabaya, warkop itu lenyap digantikan
dengan cafe kekinian. Ada rasa kecewa dan sedih di hati karena warkop sor seri
telah tutup selamanya. Aku sempat berpikir ‘apakah warkop sor seri di
tinggalkan pelanggannya karena tak ada wif?” Karena aku telah datang jauh-jauh
ke situ tak ada salahnya aku masuk ke kafe itu. Aku memesan kopi dengan nama aneh (Kenangan Mantan) yang
di sajikan dalam gelas plastik. Kopi itu terasa enak di lidah, namun hati ini
terasa kecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar