Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Rabu, 12 Oktober 2022

EMPATI KALA CORONA

Maju kena mundur kena. Barang kali kalimat tersebut tepat untuk menggambarkan kondisi para pekerja sektor informal saat ini.


Dengan meningkatnya korban virus corona dari hari ke hari di Indonesia, membuat nasib sekitar 74 jiwa  penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal menjadi serba salah. Jumlah tersebut lebih banyak daripada pekerja sektor formal yakni 55,3 juta jiwa, berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2019.

 

Saat tulisan ini dibuat sudah 579 orang positif mengidap virus korona, 49 meninggal, 30 sembuh. Itu belum termasuk dengan jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pemantauan (PDP).

 

Himbauan dari pemerintah terkait korona yang meminta masyarakat untuk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, tanpa disadari menjadi beban tersendiri bagi mereka para pekerja sektor informal. Bagaimana tidak? Beraktivitas di dalam rumah, berarti macet pula arus pendapatan mereka.

 

Para pekerja informal seperti pedagang kaki lima, ojek daring, petani, nelayan, ojek pangkalan, usaha kecil seperti warung kopi, penjual makanan keliling, penjual sayur, tukang becak, tukang jahit, tukang parkir pinggir jalan, buruh harian lepas, dan masih banyak lagi pekerjaan lain memerlukan kehadiran fisik di luar rumah atau berjumpa dengan banyak orang di keramaian demi mendapatkan penghasilan.

 

Belum lagi beban lain jika ada tuduhan “keras kepala” karena tidak mematuhi ketentuan untuk tetap tinggal di rumah. Sejenak usir dahulu jika ada persepsi tentang persamaan kondisi hidup pekerja informal dengan para kelompok menengah yang masih menyimpan dana darurat sehingga tetap aman tinggal di rumah atau para pekerja formal yang tetap diberi upah meski tak perlu datang ke kantor.

 

Mereka tak memiliki banyak pilihan kecuali tetap bekerja untuk menghasilkan uang. Sebagian besar dari mereka sampai detik ini tetap bekerja di luar rumah dengan risiko terpapar penyakit, walau penghasilan juga tetap akan menurun.

 

Menyikapi pandemi ini pemerintah tak tinggal diam. Meski dibilang sedikit agak terlambat, di bawah ini aneka tameng ekonomi telah disiapkan untuk menghadapi gempuran dari virus corona ini.

 

·        Langkah Moneter Bank Indonesia

·        Insentif Industri Penerbangan

·        Pembebasan Pajak Hotel dan Restoran

·        Insentif Sektor Perumahan

·        Buyback Saham BUMN

·        Pembebasan PPh 21 Pekerja

·        Kartu Prakerja

·        Relaksasi PPh 22 Impor

·        Stimulus Industri Jasa Keuangan

·        UMKM Boleh Tunda Bayar Utang

·        Paket Stimulus Fiskal

 

Namun pertanyaannya bukan tentang efektif tidaknya tameng ekonomi tersebut. Lantaran kapasitas penulis untuk mengkritisi jauh dari kata mumpuni. Tentunya pemerintah beserta jajarannya sudah menimbang risiko baik buruk, untung rugi dari kebijakan tersebut.

 

Justru pertanyaan tertuju pada sebagian besar masyarakat. Apakah himbauan baik untuk tetap tinggal atau bekerja dari rumah yang belakangan ini getol dikampanyekan berbanding lurus dengan besarnya empati kepada pekerja informal yang hingga detik ini masih berjuang untuk tetap mencari nafkah? Ataukah empati yang ada saat ini hanya terbatas untuk tenaga medis yang tetap setia merawat pasien korona? Coba tanya nurani sekali lagi!

 

Sembari tetap bertanya pada nurani dan berjuang bersama melawan pandemi. Mari berimajinasi serta berdoa agar ada pula tameng ekonomi dari pemerintah Indonesia kepada mereka para pekerja sektor informal, terlebih bagi kaum marginal di tengah gempuran virus corona.

 

Oleh : Agus Eko Kristanto

Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.118, April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar