“Kapan wabah ini akan berakhir?” dan “Apa yang akan terjadi setelah semua ini berlalu?” Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas dalam benak kita pada masa pandemi Covid-19 ini, ketika begitu banyak kebiasaan yang berubah; perjumpaan riil berganti perjumpaan virtual, kebiasaan berkerja ‘pergi pagi pulang petang’ berganti ‘kerja dari rumah’, sekolah dari rumah, dan lain-lain.
Mungkin bagi segelintir orang, ini bukan hal yang sama sekali baru karena sudah terbiasa melakukannya. Namun, bagi kebanyakan orang, pandemi ini memberikan efek kejut yang luar biasa, mencemaskan, dan membingungkan.
Yang Terjadi dalam pelayanan dan kerasulan?
Bidang pelayanan dan kerasulan juga tidak luput dari pandemi ini. Hampir lima bulan ini sekolah, tempat ibadah dan beberapa bidang lain ditutup, pelayanan-pelayanan sosial terbatasi dengan protocol yang ada, bahkan ada kegiatan-kegiatan yang tidak dapat dilakukan seperti sebelumnya, tentu hal ini bukan karena takut, tetapi demi keselamatan bersama. Bentuk-bentuk pertemuan daring (online) digalakkan di setiap bidang, seperti beribadah online, pendidikan online, kerja online. Harapannya, supaya pada masa pandemi ini, orang tetap tersapa, walaupun hanya secara virtual.
Tentu saja, ada yang hilang pada masa pandemi ini, yaitu berkurangnya perjumpaan. Selain berkurangnya perjumpaan, hal yang juga mucul dalam masyarakat kita adalah kecurigaan dan penghakiman terhadap sesama. Manusia melihat sesamanya dengan rasa takut, bahkan tidak jarang disertai penilaian subyektif. Pandemic ini dalam arti tertentu telah merubah cara pandang manusia terhadap sesamanya, sulit membayangkan kalau hal ini akan berlangsung lama.
Memandang sesama seperti halnya orang Samaria yang baik hati
Kisah orang Samaria, merupakan kisah tentang bagaimana manusia menjadi manusia sejati. Yesus mengatakan perumpamaan itu, untuk menanggapi pertanyaan: “siapakah sesamaku manusia”, yang berhubungan dengan perintah kasih. Menarik bahwa kemudian Yesus tidak menegaskan bahwa perbuatan orang Samaria itu merupakan praktek perintah kasih. Tindakan orang Samaria, sesungguhnya merupakan “tanggapan” (reaksi) terhadap penderitaan orang lain (sesama). Kisah itu memperlihatkan belaskasih akibat penderitaan orang lain. Belaskasih yang mendorong orang Samaria membebaskan sesama dari derita. Itulah satu-satunya alasan dari tindakan baik yang dilakukannya.
Penderitaan di sini selalu mesti dimengerti sebagai penderitaan yang disebabkan oleh orang lain. Inilah penderitaan yang paling dahsyat dan menyebabkan kehancuran kehidupan manusia dan alam pada masa kini. Melalui kisah orang Samaria yang baik hati bagi kita belajar bahwa bagi manusia tak ada pilihan mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain. Penderitaan apapun bentuknya merusak martabat manusia. Maka dalam kondisi saat ini, yang dapat dilakukan adalah tetap memanusiakan manusia.
Menjadi Pribadi yang Optimis sekaligus Adaptif
Kita perlu optimis. Kita menatap masa depan dengan rasa optimis bahwa ada sesuatu yang ditawarkan di masa mendatang. “Sukacita menyesuaikan diri dan berubah, tetapi sekurang-kurangnya tetap, bahkan seperti secercah cahaya yang muncul dari keyakinan pribadi bahwa dirinya dicintai tanpa batas, melebihi segalanya,” kata Paus Fransiskus (Evangelii Gaudium, 6). Kita perlu menafsirkan dengan cara baru apa arti Gereja dengan pintu terbuka dan Gereja yang bergerak keluar.
Saatnya kita beradaptasi dengan situasi. Setelah masa pandemi ini berlalu, kita tidak kembali ke kehidupan seperti sebelum virus ini menghampiri. Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, menyebut bahwa, “Kita sekarang telah beralih memasuki kehidupan normal baru (new normal) di mana tindakan pencegahan terhadap virus dan aktivitas sehari-hari harus berjalan beriringan”. Ya. Kita akan memasuki fase kehidupan normal, dengan banyak hal baru. Efektivitas dan efisiensi akan lebih menonjol. Dalam bahasa Presiden Jokowi, kita perlu berdamai dengan virus corona ini.
Gereja, lembaga pendidikan dll dan juga semua orang, akan memasuki masa-masa transisi yang serba baru. Kita yakin bahwa situasi akan normal kembali, tetapi akan ada banyak hal baru. Maka perlu membenahi diri pada situasi ini.
Seperti geliat arus komunikasi dan dampak pandemi yang cepat ini, kita pun harus sesegara mungkin melihat dan memikirkan pelayanan kita (fungsi dan perannya). Tentunya, bukan untuk ‘gaya-gayaan’ tetapi demi efektivitas dan efisiensi pelayanan.
Kerasulan dan pelayanan tidak boleh ‘mati gaya’ dan tidak sedang ‘gaya-gayaan’ dengan beragam model pelayanan dan pewartaan yang baru. Kita masih akan terus hidup selama kita menyadari dengan sungguh bahwa keindahan dan keagungan semesta dan seluruh ciptaan adalah tanda jejak kaki Allah. Kita berharap masa pandemi ini segera berakhir, dan dengan optimis kita menatap kebaruan langit dan bumi, melalui sikap dan langkah-laku kita yang baru pula.
Oleh : Rm. Ignatius Novan Agestyo CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi no.122, Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar