Anak itu bermain dengan riang.
Meloncat. Berlari. Lalu lalang kendaraan sama sekali tidak membuatnya cemas.
Sesekali tawa dilontarkan ke arah kakak dan ibunya. Si ibu menunggui kios
kecilnya. Memandang si kecil seperti melamun. Sang kakak lagi bergerak dari
mobil ke mobil menawarkan koran di perempatan situ. Si kecil juga membawa koran
di tangan. Bermain sambil menjajakan koran. Di mana pun anak selalu bisa
bermain dan menemukan permainan.
Baru dua tahun dia mengenyam apa
yang disebut sekolah. Dia selalu tampak gembira tiap kali berangkat. Seragam
sekolah menjadi kebanggaannya. Dulu ada saat si bocah ini berjualan di jalan
dengan memakai seragam sekolah. Itu kalo baju-baju yang lain lagi dicuci,
terlalu kotor, atau robek di sana sini. Juga ketika baju si kakak lagi tidak
bisa dipinjam. Biasanya karena alasan yang sama. Tidak banyak baju yang dia
punya. Tidak mudah bagi si ibu untuk membelikan baju baru. Terlalu banyak hal
lain lebih penting untuk keuangan yang selalu kurang dari pas-pasan.
Tapi, baju seragam itu yang
membuatnya tertimpa masalah. Pihak sekolah akhirnya tahu dia jualan koran di
jalan. Padahal anak kan tidak boleh bekerja. Apalagi bekerja di jalanan.
Tuduhan eksploitasi anak dilontarkan bertubi-tubi. Lebih parah lagi, orang tua
teman-temannya keberatan. Masak anak
mereka sekelas dengan loper koran jalanan. Bocah lugu yang senang sekolah pun
di-DO.
Keluarga kecil ini geger. Si ibu
terpaksa meninggalkan pekerjaan di perempatan. Pergi ke sekolah. Memerangi rasa
minder dan malu untuk menghadap kepala sekolah. Berusaha menjelaskan mengapa si
anak harus bekerja di jalan. Berkali-kali. Satu dua kali tidak cukup.
Perjuangan panjang, melelahkan, dan
korban perasaan parah ada hasil. Si anak boleh sekolah lagi. Dengan persyaratan
tentunya. Dia tidak boleh ngloper koran di jalan lagi. Persyaratan
berat. Itu berarti tambahan income keluarga berkurang. Harus cari cara
lain. Dan, si ibu tidak tahu apa cara lain itu. Tidak ada ide. Tidak ada
gagasan. Tapi, demi sekolah anak, syarat pun di-oke.
Namun si anak udah terlanjur shock.
Menjadi orang tertuduh terlalu berat baginya. Menjadi lebih berat karena dia
tidak mengerti. Ternyata membantu orang tua adalah kejahatan. Itu sama sekali
di luar pemahamannya. Ibunya jadi menangis dan murung berhari-hari. Jadi sibuk
keluar masuk sekolah. Teman-teman menjauh. Sekolah tidak boleh diinjak lagi.
Semua hal itu tidak bisa dia mengerti.
Rm. Rudy Hermawan CM
(dimuat dalam
buletin Fides Et Actio edisi Pebruari No. 20 thn 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar