Baru pertama kali aku datang ke tempat
seperti ini. Rudenim. Rumah Detensi Imigrasi. Dengan kata lain, penjara untuk
para imigran gelap. Jika tidak diajak teman-teman JRS (Jesuit Refugee Service) dan IOM (International Organization for Migration), kayaknya gak mungkin
nyampe ke sini. Tahu aja baru sekarang ini. Juga gak pernah mengira tempat
seperti ini ada.
Yang kebanyakan ada di sini wajahnya kayak
wajah Arab. Orang-orang Afgan. Susahnya, mereka seperti tidak bisa bahasa
Inggris. Lalu komunikasi pake apa ya? Bahasa tarzan ‘kali….
Dahiku mengernyit ketika salah satu dari
mereka, masih muda, menghampiri sambil senyum-senyum.
Eh, pikirku, yang satu ini bisa ngomong
Inggris. Dia lalu nyerocos tentang mengapa lari dari negerinya, hidupnya di
sini, sikap para penjaga, harapannya, dst.
Mereka lari karena ingin hidup lebih baik di
tempat yang aman dan nyaman. Negeri mereka sama sekali tidak aman. Maunya ke
Australia. Tetapi, ditilap oleh agen
mafia penyelundup. Indonesia dikira Australia. Lalu, melekatlah label imigran
gelap pada diri mereka.
Kupandangi wajahnya tetap dengan rasa takjub.
Kok kamu bisa bahasa Inggris, tanyaku.
“Aku belajar Inggris di pengungsian di
Pakistan. Kami yang masih belasan tahun diajari bahasa Inggris oleh para
relawan LSM di sana,” jawabnya.
“Jadi, kamu masih belasan tahun? Berapa
umurmu?” tanyaku memberondong. Dengan wajah super kaget, mestinya.
“15 tahun. Di sini ada 10an anak yang underage,” katanya santai.
Hatiku jadi miris. 10an anak ikut perjalanan yang mengerikan seperti ini dan berakhir di
tempat macam gini. Disambungnya lagi ceritanya,
“Berbulan-bulan kami di sini tanpa kepastian.
24 jam di balik terali. Baru sekarang ini boleh keluar dari sel dan main bola.”
Waktu untuk mereka bermain telah habis.
Penjaga menggiring mereka kembali ke balik jeruji. Penghuni sel lain
mendapatkan giliran keluar. Setengah jam untuk tiap sel.
Aku lalu duduk di lantai mushola Rudenim.
Melihat mereka bermain bola. Mengamati juga petugas-petugas imigrasi yang
berjaga. Para pegawai imigrasi di Rudenim ini sangat tegas, tapi tetap bersikap
bersahabat. Mereka pasti tahu bahwa orang-orang ini sebenarnya bukan penjahat
yang harus ditahan.
Kugeser tatapan mataku ke arah para imigran.
Memandangi mereka yang sedang main bola. Menyapu sel-sel hunian di seberang
sana….
Mereka memang bukan penjahat. Lari dari
negerinya hanya karena ingin selamat. Ingin hidup dengan rasa aman. Tak
dibayangi ketakutan. Sampai ke tempat ini pun karena kesasar dan ditipu. Mafia penyelundup dalangnya. Harapan untuk
hidup tenang tinggal mimpi. Malah penjara seperti ini jadi rumah mereka
sekarang. Kesalahan mereka hanya satu. Masuk ke negeri ini tanpa visa. Bukan
mencuri, membunuh, korupsi, dsb.
Tidak ada sanak dan sahabat mengunjungi.
Handai tolan dan teman mereka kan di negeri asal nun jauh di sana. Orang-orang
dari IOM dan UNHCR saja yang menjenguk. Itu saatnya bisa ngobrol bukan hanya
dengan sesama tahanan dan pegawai imigrasi yang menjaga.
Tahanan dengan vonis pengadilan punya
kepastian sampai kapan tinggal di penjara. Mereka ini sebaliknya. Sama sekali
tidak ada kepastian. Mereka pun sama sekali tidak tahu apakah negaranya masih
mau mengakui dan mengurus mereka. Kantor imigrasi, IOM, dan UNHCR pasti
mengusahakan. Tapi, tetap tidak pasti sampai kapan. Pun tidak jelas akan ke
mana setelah dari sini.
Mereka ini orang-orang terbuang dalam arti
sebenarnya. Stateless. Tidak punya yang disebut negara. Tidak ada yang
bisa mereka sebut ibu pertiwi.
26 February 2011
Rm. Rudy Hermawan CM
(dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi Maret No. 21 thn 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar