Malam
itu, sekitar jam 21.15, Pak Yanto masih bertahan di depan-samping pintu gerbang
Gereja. Melalui jalan itulah orang-orang keluar-masuk ke lingkungan seputar
gereja. Bersama dengan satu temannya, beliau menunggu, siapa tahu masih ada
orang yang ingin naik becaknya. Sesekali, pandangannya dilayangkan ke halaman
gereja, apakah ada tanda-tanda masih ramai atau sudah sepi. Kalau ramai, tentu
beliau masih punya harapan akan mendapatkan uang.
Becakku, penghidupanku…
Saya
melangkah untuk mengampiri beliau. Malam itu, bintang-bintang sudah bermunculan
dan memancarkan terangnya, termasuk menyinari becak Pak Yanto.
“Wah,
becaknya bagus ya pak, berapa belinya?
“Enam
ratu ribu mas!”
“Sudah
berapa lama mbecaknya pak?
“Sudah
delapan tahun yang lalu..”
“Sehari
dapat berapa?”
“Ya..antara
Rp.15.000; – Rp. 25.000;”
“Untuk
makan-minum, sehari habis berapa?”
“Yah,
Rp.15.000an…”
Untuk
makan saja, lima belas ribu. Untung bagi
beliau, kencing nggak usah bayar, karena cukup dengan mepet di bawah pohon atau
selokan. Praktis, beliau tak punya uang lagi untuk disimpan. Diandaikan mereka
tidak sakit, karena kalau sakit uang dari mana untuk perawatannya. Apalagi
kalau beliau tidak bekerja.
“Tinggal
dimana Pak?”
“Di
Tambaksari!”
“Tinggal
bersama keluarga? Sudah punya anak berapa?”
“Nggak...,
di Tambaksari, saya nggak ngekos, tapi tidur di atas becak, tempat parkirnya
becak-becak kalau malam di depan Gelora. Temannya banyak kok mas, mereka juga
tidur di sana”
“Pak
Yanto itu nggak punya anak mas, karena memang belum menikah, masih perjaka,
hehe...!” sambil menggoda, temannya Pak Yanto memberi tambahan jawaban.
Di
usianya yang sudah 42 tahun ini, Pak Yanto belum menikah. Ini bukan pilihan,
tapi terpaksa. Ketika ditanya, kelihatannya ia sudah tidak ingin membahasnya.
Bisa dipahami, bagaimana beliau bisa merencanakan untuk menikah kalau tidak ada
harapan untuk menjamin penghidupan keluarga yang akan dia bangun.
Siapakah Tuhanku?
Pertanyaan
ini tidak langsung ditanyakan kepada Pak Yanto. Tetapi kalau pertanyaan ini
ditujukan kepada Pemazmur seperti termuat dalam Kitab Suci, mereka berkata:
“Tuhan adalah gembalaku”, “Tuhan adalah gunung batuku”, “Tuhan adalah
bentengku”, dll.
Mengapa
mereka menjawab seperti itu? Bagi orang Israel kuno yang memiliki ternak
mencapai ratusan bahkan ribuan, kehadiran seorang gembala menjadi sangat vital.
Mereka pun menggambarkan Tuhan sebagai seorang gembala, yang mengarahkan
ternaknya ke rumput yang hijau dan ke air yang tenang. Dalam bimbingan seorang gembala, domba-domba
tidak akan kelaparan dan kehausan. Hidup mereka akan terjamin. Begitulah
kehadiran Tuhan itu dilukiskan.
Tetapi,
gambaran ini akan berbeda dengan mereka yang berada dalam situasi perang.
Mereka menggambarkan Tuhan sebagai benteng. Keberadaan benteng menjadi sangat vital
karena akan memberi perlindungan terhadap serangan musuh. Berlindung di dalam
benteng membuat mereka merasa aman, tidak khawatir, dan terjamin. Demikianlah,
mereka berkata “Tuhanlah bentengku.”
Mereka
menjawab sesuai dengan pengalaman aktual masing-masing. Pertanyaanya, ‘siapakah
Tuhan bagi Pak Yanto?’ Mungkin bagi Pak Yanto, Tuhan adalah seperti becak .
“Tuhanlah becakku”. Bagi kita, pernyataan ini mungkin terasa lucu dan terlalu
menyepelekan peran Allah. Tapi, siapa yang dapat menyangkal betapa penting
peran becak bagi Pak Yanto? Bahkan bisa dikatakan bahwa becak adalah
hidupnya.
Mungkin
secara nyata, Pak Yanto tak akan berkata seperti itu karena sudah mempunyai
agama formal. Dari para pemimpin agama, beliau sudah mendengar pengajaran
tentang siapa Allah bagi para penganutnya. Tetapi, apa artinya kalau dari
kedalaman hati, Pak Yanto justru berkata “Tuhan adalah becakku?” Karena
becaklah penghidupannya. Siang hari, becak membantunya untuk mencari rejeki
sehingga beliau bisa makan setiap hari. Malam hari, becak menjadi tempat yang
menampungnya, rumah penginapannya, memberi perlingungan dari dinginnya angin
malam.
Dengan
berkata “Tuhan adalah becakku”, tidaklah berarti bahwa Tuhan adalah becak. Ini
adalah bahasa gambaran untuk melukiskan betapa Tuhan itu tidaklah jauh di sana
– di awang-awang, tetapi di sini - selalu dekat dengan kita, ikut campur tangan
dalam hidup kita.
Pengalaman
masing-masing dari kita berbeda satu sama lain. Pertanyaannya, “siapakah Allah
bagiku? Bagi kita masing-masing?” Adakah Dia terasa begitu jauh, atau begitu
dekat dan terlibat dalam hidup keseharianku?
Rm.
Laurentius Iswandir CM
(dimuat dalam buletin
Fides Et Actio edisi No.6, Oktober 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar