Malam ini kupacu motorku melintasi jalanan Kota Surabaya
dalam rangka pergi ke dokter gigi yang ada di daerah Dukuh Kupang. Lain dari
biasanya, malam ini aku merasa nyaman berkendara di jalanan kota terbesar kedua
di Indonesia ini. Momen dua hari menjelang Lebaran membuat Surabaya menjadi
lengang... Asyiknya kalau setiap hari adalah Lebaran hahahahaha.....
Sampai di perempatan jalan Jagir Wonokromo – Panjang Jiwo
– Raya Nginden, kuhentikan laju motorku karena lampu stopan (lampu lalu lintas)
berwarna merah. Tanpa sengaja aku menoleh kearah kiri. Tampak sosok yang
menarik perhatianku sedang berdiri di bawah lampu stopan sisi Jalan Panjang
Jiwo. Seorang kakek-kakek memakai helm yang berdiri di samping becak. Bukan
pertama kalinya aku melihat sosok itu. Dilihat dari wajah dan fisiknya, usianya
kira-kira berkisar 70 tahunan. Tapi entah kalau aku salah mengira-ngira.
Setiap kali melintasi jalan Jagir Wonokromo aku sering
melihat kakek itu. Tepatnya di lampu stopan yang berada di perempatan jalan
Jagir Wonokromo – Panjang Jiwo – Raya Nginden, di sisi Jalan Jagir Wonokromo.
Dia selalu duduk diatas becaknya yang diparkir di pinggir Kali Jagir, sambil
memakai helm. Ya, kakek itu adalah seorang penarik becak (tukang becak). Namun
kali ini aku melihatnya di tempat yang tidak biasanya. Dia berpindah ke sisi
jalan yang lain. Sebenarnya bukan soal kakek penarik becak yang memakai helm
yang sangat menarik perhatianku. Namun, apa yang dia selalu lakukan.
Setiap kali aku melihatnya, dia selalu memberi aba-aba
kepada para pengguna jalan yang berhenti di lampu stopan. Sambil duduk diatas
becaknya (namun kali ini dia berdiri disamping becaknya) dan hampir selalu
dengan memakai helm, ketika indikator waktu yang ada di lampu stopan
menunjukkan kurang 3 detik untuk berganti menjadi hijau, dia selalu berteriak,
“Wayahe (waktunya)...” sambil melambaikan tangannya. Ternyata dia sedang
memberikan aba-aba kepada para pengguna jalan untuk segera menjalankan
kendaraannya.
Seringkali aku berpikir, apakah kakek penarik becak itu
kurang waras? Duduk diatas becak sambil memakai helm dan memberikan aba-aba
kepada para pengguna jalan sambil berteriak. Untuk apa dia melakukan hal
seperti itu? Toh, sudah ada lampu lalu lintas yang mengatur semuanya. Kenapa
dia repot-repot memberi aba-aba.
Entah mengapa, malam ini aku memikirkan lebih dalam
tentang apa yang dilakukan oleh kakek penarik becak itu. Mungkin karena efek
jalanan yang lengang sehingga membuat pikiranku lebih santai dan tidak spaneng, maka aku punya waktu untuk
memikirkan hal lain selain berkonsentrasi pada jalanan yang biasanya padat
hehehehe..... Bisa dikatakan, refleksi kecil-kecilan lah...
Terlepas dari kurang waras atau tidaknya kakek penarik
becak itu, aku melihat ada nilai positif dari apa yang dilakukan olehnya. Aku
yakin dia melakukan hal itu bukan karena disuruh oleh seseorang. Aku juga yakin
dia tidak mendapatkan upah atas apa yang dilakukannya.
Di usianya yang senja, dia masih ingin melakukan sesuatu
yang berguna bagi orang lain. Memang apa yang dilakukan oleh kakek penarik
becak itu tidak terlalu berpengaruh pada lalu lintas. Kecuali bagi para
pengguna jalan yang mungkin sedang melamun atau pikirannya sedang blank sehingga tidak mengamati
pergantian lampu dari merah ke hijau, maka teriakan kakek itu cukup berguna
untuk menyadarkan pengguna jalan itu agar segera bergerak sehingga tidak
menimbulkan kemacetan kendaraan di barisan belakangnya. Namun aku melihat ada
kemauan dari dirinya untuk berbuat sesuatu bagi orang lain, tanpa pamrih.
Untuk penarik becak seumurannya, tentu dia tidak bisa
berbuat banyak dengan becaknya. Tenaganya pasti sudah tidak cukup untuk
mengayuh pedal becaknya yang bermuatan. Hampir dipastikan orang-orang enggan
menaiki becaknya dikarenakan kecepatannya yang lambat. Berdasarkan hukum sebab
akibat, maka hampir dapat dipastikan juga bahwa dia tidak akan mendapatkan
penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Mengapa aku bisa berkata demikian? Hal ini disebabkan aku
pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya naik becak dengan penarik becaknya
seorang kakek yang sangat tua. Jadi begini ceritanya...
Suatu hari aku sedang terburu-buru untuk pergi ke gereja
untuk menghadiri misa. Karena tidak ada kendaraan yang dapat kunaiki, dan
satu-satunya kendaraan umum yang terlihat didepan mataku hanyalah sebuah becak
yang ditarik oleh seorang kakek-kakek, mau tidak mau aku pun menaikinya
(daripada jalan kaki). Meski aku meragukan kekuatan kakek itu untuk mengayuh
pedal becaknya, aku masih memiliki sedikit harapan bahwa dengan menaiki becak maka
aku akan lebih cepat sampai di gereja daripada aku jalan kaki. Namun malang tak
dapat ditolak, untung tak dapat diraih, harapanku adalah harapan kosong. Becak
yang kunaiki berjalan seperti siput. Alamak... Apalagi di jalanan yang agak
menanjak. Nafas kakek itu pun seperti mau putus. Dia mengatakan bahwa kakinya
tidak kuat. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali berkali-kali mengumpat dalam
hati “sial” dan melihat jam di Hpku. Ingin rasanya ganti becak saja, namun aku
merasa kasihan juga terhadap kakek itu. Akhirnya aku mencoba untuk menghibur
dan memotivasi diri, meski tetap saja aku gelisah dan tak sabar. Tidak hanya
berhenti sampai disitu. Pada saat melintasi jembatan yang cukup menanjak, kakek
itu tidak kuat lagi mengayuh dan becak pun berhenti. Cukup sudah kesabaranku.
Aku pun turun dan membayar ongkosnya. Untung saja jarak gereja sudah tidak jauh
lagi. Dengan sedikit berlari aku pun segera melesat menuju ke gereja. Dapat
dipastikan bahwa kecepatan jalanku melebihi kecepatan becak tadi. Dan seperti
yang aku prediksikan, aku pun telat dengan suksesnya tiba di gereja. Hehehe...
Nah, kembali lagi ke topik awal, menurutku menyadari
keterbatasannya yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak dalam mencari nafkah,
kakek penarik becak itu masih ingin berbuat sesuatu meski hal sederhana yang
membuatnya menjadi orang berguna, yaitu dengan membantu para pengguna jalan.
Aku berpikir...kalau kakek-kakek dengan kondisi fisik
yang lemah (atau mungkin juga kurang waras) saja masih ingin berbuat sesuatu
bagi orang lain tanpa pamrih dan masih ingin menjadi orang yang berguna,
bagaimana dengan kita yang masih muda, segar bugar, dan waras ini? Apakah kita
juga melakukan hal yang berguna bagi sesama dan lingkungan kita? Apakah kita
mau berusaha menjadikan diri kita berarti? Ataukah kita hanya generasi muda
yang malas-malasan, mau enaknya atau gampangnya saja? Atau orang muda yang tak
peduli akan arti diri, hanya mengalir tanpa tujuan hidup yang jelas? Atau orang
yang melakukan segala sesuatunya dengan pamrih? Atau alih-alih melakukan hal
yang berguna bagi orang lain, kita malah seringkali menjadi batu sandungan bagi
orang lain?
Mari kita tanyakan pada diri kita...pada hati kita...pada
hatiku dan hatimu...
***
...dan sepulangnya dari dokter gigi, aku melihat kakek
penarik becak itu sudah berpindah ke posisi biasanya di sebelah Kali
Jagir...dan tetap memberi aba-aba bagi pengguna jalan dengan semangat 45...
Surabaya, 6 Agustus 2013
*refleksi sepanjang jalan Panjang Jiwo - Dukuh Kupang
(Lea Benedikta Luciele)
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.
41, Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar