Waktu masih SD kelas IV suatu
sore aku dan dua adik diajak bapak ke pasar Blauran untuk membeli sepatu, sebab
sepatuku sudah robek besar dan tidak mungkin dijahit lagi. Dari rumah ke pasar
Blauran cukup jauh, tapi untuk menghemat pengeluaran maka kami jalan kaki
sekitar 3 atau 4 km. Bagiku jalan sejauh itu tidak masalah sebab hatiku senang
dapat sepatu baru. Sebuah sepatu merk Bata yang terbuat dari karet semuanya.
Dari toko sepatu itu sudah kupakai, akibatnya kaki jadi lecet. Mungkin bapak
melihatku jalan agak pincang, maka dia mengajak berhenti untuk beli es di
warung tepi jalan. Ketika kami sedang menikmati es campur, yang merupakan
sebuah kemewahan bagi kami, datang dua anak kecil membawa kotak semir sepatu.
Mereka dengan wajah memelas menawarkan jasanya. Bapak menolak, sebab semua
memakai sandal jepit dan sepatuku tidak mungkin di semir.
Sambil berjalan bapak bertanya
bagaimana bila aku menjadi anak semir sepatu? Aku bingung menjawab bagaimana.
Bapak menjelaskan tentang penderitaan anak semir sepatu dan mengajakku untuk
senantiasa bersyukur meski hidup dalam kemiskinan. Intinya aku tidak boleh
mengeluh atau malu bila sekolah memakai sepatu yang sudah robek. Jarang
mempunyai uang saku. Atau harus memakai buku tulis yang dibuat sendiri dari
gabungan kertas-kertas yang masih kosong dari buku-buku tulis yang sudah
dipakai atau dari kertas-kertas yang didapat bapak dari kantor. Bagaimanapun
aku masih dapat sekolah dan tidak menjadi tukang semir.
Pengalaman pertemuan dengan
anak tukang semir sering diulang dalam cerita atau nasehat bila aku mulai
mengeluh akan situasi hidup yang serba kurang. Lambat laun pengalaman itu
membuatku untuk berusaha terus bertahan bila mengalami kekurangan atau
menghadapi situasi hidup yang sulit. Seperti ada kekuatan dalam diri untuk
terus berjuang. Tidak mudah mengeluh. Di lain pihak pengalaman itu juga
membuatku untuk peduli pada orang miskin. Kepedulian ini lebih pada cerminan
akan hidupku yang harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu meski untuk hal yang
kecil. Terlebih pengalaman itu membuatku bersyukur. Meski miskin tapi tidak
menjadi anak semir sepatu.
Dalam masyarakat saat ini
jurang antara kaya dan miskin semakin lebar. Di satu sisi banyak orang kaya,
sehingga tumbuh mall-mall besar. Konon Jakarta adalah kota yang paling banyak
mempunyai mall di dunia. Hukum ekonomi yang paling dasar adalah dimana ada
permintaan maka akan ada penambahan jumlah barang. Bertumbuhnya mall
menunjukkan adanya banyak permintaan atau semakin menguatnya kebutuhan orang
berbelanja di mall. Jika dilihat dari sini maka masyarakat sudah banyak yang
menjadi kaya. Tapi disisi lain kemiskinan semakin meningkat, meski pemerintah
selalu menyatakan bahwa ada penurunan angka kemiskinan. Hal ini disebabkan
definisi dan patokan kemiskinan yang dibuat pemerintah sangat memprihatinkan.
Diantara dua kaya miskin ini
kurang ada jembatan yang mampu menghubungkan keduanya. Banyak orang kaya yang
terus berusaha memperkaya diri meski harus melalui cara-cara yang merugikan
orang banyak. Pencurian merajalela dalam jumlah ratusan juta bahkan sudah
mencapai milyardan rupiah. Para pencuri itu pada umumnya sudah termasuk orang
kaya. Mereka mencuri bukan untuk mempertahankan hidup agar tidak mati tapi
untuk menambah kekayaan mereka, sehingga dapat memboroskannya dalam aneka kenikmatan.
Hal ini dapat terjadi sebab mereka tidak peduli pada sesamanya. Mereka tidak
berpikir bahwa perbuatan mereka memiskinkan sesama.
Pencurian uang rakyat juga
disebabkan orang hidup dalam keserakahan. Dia tidak mampu bersyukur atas apa
yang menjadi miliknya. Mungkin mereka tidak punya pengalaman bertemu dengan
anak semir sepatu atau kalau toh bertemu mereka tidak berusaha belajar dari
anak semir sepatu. Mereka dapat makan yang cukup sedangkan dihadapan mereka ada
jutaan orang yang tidak mampu makan. Aku bersyukur bertemu dengan anak semir
sepatu dan selalu diingatkan akan pertemuan itu.
(Rm. Gani Sukarsono CM)
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi Juli No. 49 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar