Aku dapat tugas dari instansi tempatku bekerja untuk melakukan
tugas misi di Yayasan Kasih Bangsa Surabaya yang
beralamatkan di jalan Kinibalu 41 Surabaya. Yayasan Kasih Bangsa Surabaya memayungi 4 divisi yaitu: Sanggar Merah Merdeka (SMM), Pusat Pengembangan Sosial (PPS), Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK), dan Wadah Asah Solidaritas (WADAS). Dari situ aku ditugaskan
oleh Romo Wawan CM selaku ketua
Yayasan untuk
membantu Sanggar Merah Merdeka. Sanggar Merah Merdeka bergerak di bidang sosial
pendampingan anak.
Tugas
relawan sanggar adalah mendampingi anak-anak kampung untuk bermain dan belajar
seperti belajar bernyanyi, menari, bermusik, teater dan mereka
juga dikenalkan tentang kepedulian sosial. Suatu sore menjelang malam aku ditugaskan untuk mendampingi anak-anak di
kampung Bendul Merisi. Setibanya di pos Bendul
Merisi hanya aku temui beberapa anak saja. Mereka aku dekati dan
aku ajak ngobrol, baru teman-teman mereka muncul satu per satu.
Setelah anak-anak kumpul semua aku membuat kesepakatan pada
mereka apakah kegiatan hari itu
mau diisi dengan bermain musik atau menggambar. Anak-anak pun sepakat
untuk bermain musik. Sebagian dari mereka menyiapkan tempat dan sebagian mengambil alat-alat
musik di sanggar. Setelah semua dirasa siap anak-anak pun mulai memukul satu per satu alat musik. Suara gaduh pun memecahkan kesunyian malam.
Dari
beberapa anak yang berkumpul ada dua anak yang menarik perhatianku karena
penampilan mereka berbeda dengan anak-anak lainya. Mereka
sama-sama berambut pirang dan tidak pernah memakai alas kaki, umur mereka pun tak jauh beda sekitar 12 tahunan. Aku coba mendekati mereka dan aku ajak
ngobrol. Dari obrolan tersebut baru
aku ketahui bahwa mereka sudah putus sekolah. Lalu
aku coba bertanya tentang rutinitas mereka setelah putus sekolah. Aku salut
pada mereka berdua. Di usia yang masih belia
mereka sudah berjuang melawan kejamnya dunia dengan menjadi seorang kernet
bis kota. Mereka
juga punya keinginan yang mengebu-gebu untuk mempunyai sebuah sepeda motor
sendiri. Demi
mewujudkan keinginan, mereka rela menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk ditabung. Lalu aku tanya lagi tentang cita-cita mereka berdua. Jawabannya pun sama dan cukup
sederhana ”Aku mau jadi sopir bis” . Aku coba bertanya lagi kok sopir bis? nggak pilot yang lebih keren? jawabnya pun enteng tapi
bermakna dalam ”Aku mencintai pekerjaanku”. Dari situ aku dapat pengalaman yang mengesankan. Walaupun dari hal-hal
yang sederhana namun kalau kita hayati akan menjadi bahan untuk instrospeksi diri dengan apa
yang menjadi pekerjaan kita sehari-hari.
(Jemadi)
dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.53, Nopember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar