Udara panas menyengat. Aku
berjalan di depan deretan rumah sederhana. Rumah darurat bagi para pengungsi
lumpur Lapindo. Dari sela rumah muncul seraut wajah yang sudah aku kenali.
Wajah yang kurus dan tampak berbinar melihatku.
“Wah sudah lama tidak kesini,
saya sampai kangen,” katanya dalam bahasa Jawa kromo.
“Maaf pak saya banyak acara
sehingga tidak sempat kemari.” Jawabku. Bapak itu menyalami aku dengan penuh
semangat.
“Tinggal pak romo lho yang
masih setia kemari,” katanya basa basi
“Ah ada-ada saja. Kan masih
banyak orang kemari,”
“Tidak.” jawabnya cepat. “Dulu
pada awalnya memang masih banyak orang kemari. Ada artis, pejabat dan para
ulama. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang mau membantu kami.”
“Ya mungkin mereka juga repot
pak.”
“Saya bersyukur pak romo masih
mau kemari. Pak romo satu-satunya orang yang masih setia mendampingi kami.”
“Bagaimana anak bapak,” kataku
mengalihkan pembicaraan yang tidak ada gunanya.
“Baik. Dia naik kelas.”
Jawabnya bangga. “Syukurlah dulu dibantu sama pak romo.” Kami berjalan
menyusuri deretan rumah. Seorang ibu tua berdiri di depan pintu.
“Nak romo kok tumben datang.”
Aku menyalami dan tersenyum. “Bagaimana ini nak kok ganti rugi belum turun.
Kami ini harus makan apa kalau seperti ini?” keluhnya. Aku hanya menghela nafas
panjang. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Sisa 80% ganti rugi kurban
lumpur yang dijanjikan akan dibayar belum juga dibayar. Sudah banyak janji dan
pendapat yang dilontarkan dalam media tapi realisasi masih dalam impian. Para
kurban lumpur Lapindo masih berharap ada pemerintah yang peduli.
Beberapa orang muncul dan
menyapaku. Sejak desember 2006 aku memang sudah sering muncul di pasar baru
Porong. Kini mereka sudah pindah ke sebuah lahan baru yang merupakan hasil
usaha mereka sendiri. Mereka menempati rumah-rumah darurat asal dapat untuk
berlindung dari panas matahari dan embun di malam hari. Bila hujan nanti entah
apa jadinya rumah mereka. Beberapa orang bersyukur meski aku beda agama dan
rumahnya jauh tapi masih peduli pada mereka.
Ketika masih di pasar baru
Porong dulu ada banyak orang berkunjung ke pasar baru dengan aneka alasan.
Mulai dari artis, tokoh HAM, aktifis kemanusiaan, LSM, wartawan dalam dan luar
negeri, politikus, pejabat dan aneka status lainnya. Tidak jarang mereka datang
membawa spanduk sehingga banyak spanduk terbentang disana. Tapi dengan
berjalannya waktu semakin jarang orang datang. Satu dua orang masih berusaha
membangun relasi dengan para pengungsi dengan mengunjunginya, tapi semakin
banyak orang lupa akan keberadaan dan masalah kurban lumpur Lapindo. Mereka
seolah harus berjuang sendiri untuk menuntut hak mereka yang dirampas.
Pemerintahan berganti. Setiap
ada pencalonan pemerintahan baru selalu ada janji yang dilontarkan ke berbagai
media. Tapi setelah menjadi penguasa maka semua janji itu dilupakan bahkan
muncul keputusan-keputusan yang merugikan para kurban. Setelah SP3 muncul lalu
muncul pendapat bahwa kasus lumpur Lapindo adalah kasus bencana alam.
Pemerintah akan menggunakan APBN untuk memberi ganti rugi. Bila hal ini
dilaksanakan maka para kurban akan rugi besar. Bila dalam status bencana maka
tidak akan ada ganti rugi akibat melainkan sumbangan pemerintah yang besarnya
sudah diatur dalam kepres dan UU. Melihat ini kita bisa tahu keberpihakan
pemerintah.
Kasus semburan lumpur akibat
pengeboran Lapindo Inc bukanlah satu-satunya kasus di negara ini dimana
perusahaan besar merugikan rakyat. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat
seringkali lebih berpihak pada pemilik modal. Memang pemerintah membutuhkan
pengusaha tapi apakah pemerintah akan menutup mata bila mereka berlaku
sewenang-wenang terhadap rakyat jelata?
Rm. Y. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi September No. 51 thn 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar