Suasana hiruk
pikuk oleh suara alat musik yang sedang ditabuh. Orang banyak tumpah ruah
disekitar enam bocah laki-laki yang sedang menabuh dengan semangat 45. Ada yang
sekedar lewat sambil menoleh, ada yang berhenti tertegun menyaksikan permainan
tabuhan anak-anak, ada yang sibuk memotret dan merekam aksi mereka menggunakan
telepon genggam, ada yang menonton lalu tak lama kemudian memasukkan lembaran
uang berbagai warna kedalam kotak yang disediakan didekat anak-anak itu
‘mengamen’. Beberapa bocah yang lain nampak berjajar membentuk formasi garis
lengkung mengitari kumpulan anak-anak yang sibuk menabuh alat musik jimbe. Ada
yang duduk dan ada yang berdiri karena tak kebagian kursi plastik lagi.
Mataku terus
tertuju pada kerumunan bocah-bocah pemain musik dan bocah-bocah penonton yang
berada tak jauh didepanku. Naluri sebagai seorang bendahara membuat mataku
terus memantau pergerakan tangan-tangan yang ada disekitar kotak
uang...kira-kira dapat banyak nggak ya... hehehe... Tidak munafik,
sanggar kami memang akan membutuhkan uang sumbangan hasil ‘mengamen’ anak-anak
dampingan kami itu untuk menambah pemasukan yang dapat dipakai untuk menutupi
biaya operasional sehari-hari. Jadi harap maklum kalau mata ini juga awas
‘menjaga’ kotak uang tanpa penutup itu...hehehe...
Sebenarnya
anak-anak dampingan kami tampil dengan permainan alat musik jimbenya hanya
untuk meramaikan suasana sehingga orang banyak akan tertarik untuk mengunjungi
stand expo kami.Namun tiba-tiba terbersit ide untuk menyediakan kotak uang, dengan
harapan siapa tahu ada umat yang tertarik dengan permainan mereka dan tergerak
hatinya untuk membagikan sebagian kecil rejeki mereka untuk karya sanggar kami
yang mendampingi anak-anak yang kurang mampu.
Disela-sela adegan
yang sedang berlangsung di lapangan parkir gereja tempat digelarnya expo,
mataku pun menangkap adegan yang membuatku terharu. Pandangan mataku jatuh pada
seorang bocah sederhana yang sedang duduk didekat kotak uang kami. Bocah
bermata sipit itu memakai pakaian yang sederhana. Nampaknya dia sendirian,
karena tak kulihat ada yang mendampinginya.
Sembari menikmati
permainan musik yang sudah sejak awal disaksikannya itu, kulihat jemari tangan
kanannya merogoh saku kecil kemejanya. Dikeluarkannya sekeping uang logam lima
ratusan dan dimasukkannya kedalam kotak uang kami. Gerakannya nampak perlahan,
seperti malu-malu. Mungkinkah dia malu melihat banyak lembaran uang yang ada
didalam kotak dengan angka nol yang berjajar banyak sedangkan pemberiannya
hanya mempunyai dua angka nol? Entahlah...tapi yang pasti, bocah kecil
sederhana itu menyumbangkan uangnya untuk sanggar kami, dan itu berarti untuk
anak-anak lain sebayanya yang berkekurangan. Melihat ukuran sakunya yang kecil,
aku rasa tidak banyak uang yang ada didalamnya. Bahkan bisa jadi itu uang
terakhir yang dimilikinya.
Memang nominal
uang yang diberikan oleh bocah kecil yang sederhana itu tidak banyak, namun ia
telah memberi dari kekurangannya. Bocah yang masih sangat belia itupun sudah
mengerti berbagi dengan sesamanya yang kurang beruntung.
Ah, seandainya
saja dunia ini dipenuhi oleh manusia-manusia yang mempunyai hati sepertimu
nak... hati yang mengerti berbagi... Jika demikian, aku rasa tidak akan ada
lagi kelaparan dan kemiskinan... Mungkinkah??? Entahlah...
Oleh : Lea Benedekta
Luciele
Dimuat dalam buletin
Fides et Actio edisi no.64, Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar