Malam itu mulai merayap larut. Pagi
tinggal 2-3 jam lagi. Aku masih merokok, meringkuk di bundaran di pekarangan
rumah sakit. Tidak ada niat untuk ngopi. Hati ini gelisah dan marah. Membuatku
lupa kalau malam ini sangat dingin. Lupa juga kalau renta mulai merayapi tubuh
ini.
Di dalam sana terkapar anakku. Ditemani
beberapa relawan. Tadi sore dia datang ke sanggar. Baru pulang dari Bandung.
Ikut rombongan bonek Persebaya. Tangannya terluka karena huru-hara di Solo.
Ternyata itu bukan sekedar luka. Sendi sikunya lepas. Harus operasi. Kepalaku
langsung cenut-cenut saat itu. Dari mana kudapatkan uang untuk operasinya?
Kulihat dia terbaring diam. Ada darah di
pembalut sikunya. Wajahnya langsung meringis. Melemparkan senyum. Siap untuk
bergurau seperti biasa.
“Sakit?” tanyaku berbasa basi.
“Yaahhh…biasa, Mo” jawabnya.
Senyumnya makin lebar. Dia sempat main
komputer di sanggar sore tadi. Itu cerita dari relawan. Aku tahu, anak-anak ini
biasa nahan sakit. Mereka tidak takut dengan rasa sakit. Tapi, yang satu ini
pasti tak kan mampu mereka tahan.
“Eh, ini ada suntikan untuk kamu.
Barusan kuambil dari apotik. Ada tiga. Besar-besar semua,” kataku.
“Aaduuuuhhhh…!” serunya.
Wajahnya langsung jadi lebih pucat.
Matanya meredup bersamaan dengan kengerian. Tapi langsung membelalak begitu
merasa aku goda. Memikirkan pembalasan.
Di rumah sakit, bukan kepalaku yang
cenut-cenut lagi. Darahku yang mendidih. Mataku melotot menyaksikan bagaimana
dia diperlakukan. Banyak pertanyaan tentang latar belakangnya. Jawaban jelas.
Dia anak jalanan. Tinggal di kolong jembatan. Tidak ada keluarga bersamanya.
Tidak ada KTP dan KSK. Tidak ada identitas resmi. Murni orang jalanan. Hidup,
kerja, makan, mandi, berak di jalanan.
Tampak jelas keraguan yang muncul di
mata bapak-bapak petugas. Gimana dia bisa bayar? Siapa yang mau jamin? Kalau
tidak ada yang jamin, kami gak bisa ngurusi. Minta ampun dech….
Tadi, keluar dari ruang rontgen, dia
usaha sendiri. Tangan yang satu menggerakkan roda kursi. Tangan yang terluka
mencoba menghela pintu. Tak ada yang bantu membukakan. Begitu sosoknya
terlihat, kami berlarian membantu. Hati ini makin terkoyak. Mungkin di ruang
itu gak ada petugas lagi ya? Sudah pergi semua sebelum dia keluar. Hmmm….
Mencoba berpikir positif. Meski sia-sia. Karena jelas tampak ada orang.
Gak cuma anak ini yang malang. Ketika
seorang ibu tua menanyakan informasi, bentakan yang didapat. Padahal informasi
itu, menurut si ibu, dari mulut dokter lain di situ. Tinggal dijawab ya atau
tidak. Kok susah amat. Sorot mata si ibu kelam menahan malu. Tak berani menatap
yang lain. Terseok-seok ia kembali ke sisi suami yang diam tak tersadar.
Inilah nasib orang kecil. Nasib kere.
Tak ada harganya. Perasaan orang kecil tak ada nilainya. Tak ada artinya. Sama
sekali. Di mata mereka yang merasa diri manusia. Di jalanan mereka dipandang
dengan sorot hina dan sinis. Sedikit beruntung jika ada pandangan kasihan. Di
rumah sakit, lebih parah lagi. Dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan
menyakitkan. Lalu dibiarkan sampai berjam-jam. Dibentak kalau berani bertanya.
Dibentak bukan karena mereka salah.
Para kere pasti udah terbiasa.
Perlakuan seperti itu udah bagian dari hidup. Tapi, apakah itu berarti mereka
kebal? Perasaan mereka bebal? Tidak merasakan apa-apa? Si ibu tua jelas merasa
terhina. Anakku? Aku tidak berani bertanya. Dia pun tidak mengatakan apa-apa.
Matanya yang bicara. Bahwa hatinya lebih sakit daripada sikunya. Perasaan
mereka jauh lebih sensitif. Justru karena mereka adalah manusia.
Aku tercenung lama di bundaran itu. Hati
merana. Bukan cuma mereka yang merasa terhina. Teman-teman relawan merasa
disakiti. Juga diriku. Situasi seperti ini pun bukan yang pertama kali. Sudah
berkali-kali. Dan, akan terus terjadi. Selama manusia masih terus dibeda-bedakan.
Selama menjadi manusia diartikan punya kemewahan dan pangkat. Selama manusia
hanya dihargai kalau berguna.
Seorang relawan datang. Si siku lepas
dah tertidur, katanya. Syukurlah. Lebih baik dia tidur pulas. Daripada mata
melek mengingat perlakukan terhadapnya. Meski mereka tidak mau terima. Dengan
lapang hati mereka tetap menerimanya. Terus, membiarkan berlalu. Besok akan
tersenyum lagi. Tersenyum juga kepada para petugas. Seolah tidak ada apa-apa.
Siapa yang sebenarnya manusia?
Lebih baik kere jangan sakit.
Dilarang sakit. Langsung mati justru lebih baik. Gak akan tahu kalau
diperlakukan bukan sebagai manusia. Gak akan merasa apa-apa lagi. Tapi, menjadi
manusia bukan karena perlakuan orang lain. Justru sebaliknya. Bagaimana
memperlakukan orang lain adalah ukuran kemanusiaannya. Jangan lupakan ini, Wan.
Oleh
: Rm. Rudy Hermawan CM
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi no.64, Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar