Alam
mempunyai bahasa tersendiri untuk mengungkapkan suatu misteri. Misteri itu
dapat dimengeri dan dipahami, tatkala hati membuka diri untuk melihat bahasa
alam. Mungkin inilah yang harus dipelajari dari saat ke saat. Hari itu, saya
dengan pastoral team hendak berangkat
ke beberapa kampung untuk mengirim bantuan makanan bagi para korban bencana
banjir. Beberapa anak muda membantu kami untuk mengangkat bahan makanan
dari rumah menuju tepi pantai. Namun, tanpa kami ketahui ban gerobak bocor.
Gerobak dorong ini dipakai untuk menarik speed boat dari rumah kami
menuju tepi pantai. Segera saya mencari tempat service ban, namun tempat
service ban di Pulau Daru, Province Barat, Papua New Guinea bukanlah hal
yang gampang ditemukan. Setelah mencari beberapa tempat, mereka mengatakan
kepadaku bahwa tidak ada tempat service ban disini. Saya kembali ke
rumah dan duduk sejenak di pintu rumah, sambil berpikir apa yang dapat saya
lakukan? Jimmy, salah satu pastoral agen mendekatiku dan berkata bahwa
kami dapat menyewa gerobak dorong orang lain untuk menarik speed boat
ke tepi pantai, meskipun dengan biaya yang sangat mahal. Saya tidak keberatan,
karena berpikir bahwa kampung-kampung dimana terjadi banjir sedang menderita
dan membutuhkan makanan. Jadi bagi saya tidak ada kompromi dengan urusan ini.
Tatkala
saya tiba di tepi pantai, saya melihat beberapa orang tua ada di tepi pantai,
mereka bersalaman dengan saya. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya
Emanual, salah satu dari mereka bercerita kepadaku bahwa semalam cuaca
dan angin di laut sangat keras. Permukaan air laut naik mencapai jalan raya.
“Lihatlah dua spead boat dalam posisi terbalik berada di tepi jalan
raya. Kata Emanual sambil menunjukan tangannya pada dua speed boat. Saya
melihat dua speed boat berada di tepi jalan, namun saya tidak
membacanya itu sebagai suatu pertimbangan bagi saya untuk menunda keberangkatan
saya. Yang ada dibenakku adalah segera berangkat menuju kampung untuk mengirim
bahan makanan. Saya duduk bersama mereka di tepi pantai. Beberapa saat
kemudian, speed boat kami dapat diturunkan ke tepi pantai. Tidak seperti
biasanya beberapa orang tua ada di tepi pantai bersama saya, pikirku dalam hati
sambil melihat laut. Mereka bercerita bahwa semalam air pasang naik sampai di
jalan raya, bahkan mencapai rumah mereka. “Bukankah ini terjadi setiap
tahun”? Tanya saya lebih lanjut kepada mereka. Iya, ada saat tertentu suhu
permukaan air laut meningkat dan ketika gelombang pasang, air mencapai rumah
kami. Kata salah satu anak muda kepada saya. Saya diam sejenak dan mencoba
fokus pada perjalanan yang kami tempuh. Rupanya mereka ingin memberi tahu saya
untuk menunda perjalanan saya, meskipun maksud saya baik mengantarkan bahan
makanan untuk para korban bencana banjir.
Setelah
semuanya beres, beberapa orang membantu mendorong speed boat lebih ke
dalam. Jimmy segera menurunkan motor, dan mulai menghidupkan mesin motor. Mesin
mulai hidup dan speed boat mulai bergerak membelah hempasan gelombang.
Namun, sesaat kemudian mesin motor kami mati. Jimmy mencoba memeriksa kembali
mesin, mungkin sambungan minyak, atau karburator atau mungkin juga karena
busi. Ia mulai membersikan beberapa bagian mesin. Tetapi mesin belum juga
hidup.
Saya
melihat jam di tanganku, waktu sudah menunjukkan jam 3 sore. Seharian kami
hanya terapung di laut. Padahal sebenarnya jam tersebut diperkirakan kami sudah
tiba di Pulau Kiwai. Saya mengambil beberapa potong roti dan kubagikan kepada
Jimmy dan team kami untuk makan siang, sementara hujan mulai turun membasahi
tubuh kami. Jimmy mencoba kembali memperbaiki mesin, namun usahanya sia-sia,
tak ada harapan lagi. Hari sudah agak sore, ketika kami akhirnya sampai menepi
di pantai lagi. Bapak Bobby, seorang teknisi datang membantu dan memperbaiki
mesin motor kami. Ia menasehati kami untuk tidak berangkat pada hari itu,
namun keesokan harinya. Senja itu dalam kepenatan, kami mengangkut lagi
makanan dari tepi pantai ke rumah. Kami memutuskan speed boat
tidak ditarik ke rumah tapi dibiarkan di pelabuhan, karena Jimmy berjanji
akan menjaganya. Memang tidak aman untuk menambatkan speed boat di
pantai, kalau tidak ada yang menjaganya.
Keesokan
harinya, selesai sarapan saya bergegas ke tepi pantai. Betapa terkejutnya saya
melihat beberapa speed boat bertenger di jalan raya, karena gelombang
besar tadi malam. Saya mencoba mencari speed boat kami, namun saya tidak
melihatnya. Hati saya mulai gelisah. Sambil duduk di tepi pantai kuperhatikan
dengan seksama kerusakan akibat meningkatnya permukaan air laut. Paulus datang
menemuiku dan berkata bahwa semalam mereka tidak tidur karena air laut naik
sampai ke rumah mereka. Semua tempat tidur mereka basah. Saya hanya diam saja
mendengarkan penuturannya. Beberapa saat kemudian, Jimmy datang dengan speed
boat. Saya memperhatikan hempasan gelombang di pagi hari. Tampaknya alam
tak bersahabat di pagi hari itu. Emanual menemui saya dan menasehati saya untuk
menunda saja keberangkatan kami Pulau Kiwai. “bukankah semakin jelas, father,
kemarin ketika memulai perjalanan dengan masalah, lalu mesin motor juga rusak?
Mungkin inilah tandanya, alam memberikan petunjuk untuk menunda keberangkatan”.
Kata Emanual lebih lanjut kepadaku. Lalu Ayahnya juga datang menemui saya dan
bercerita bahwa kemarin tiga speed boat terbalik di sekitar pulau Kiwai.
Beberapa penumpang kini dirawat di rumah sakit, dan semua barang-barang mereka
hilang. Saya diam saja mendengarkan kisah dan nasehatnya. Hari itu saya
memutuskan untuk tidak berangkat ke pulau Kiwai sambil menunggu saat yang tepat
untuk berangkat ke Pulau Kiwai. Saya kembali ke rumah dalam keheningan mencoba
mengerti semua peristiwa, terutama mencoba mengerti dengan hati. Perasaan
menyesal, sedih dan kecewa tentu saja, namun satu hal yang dapat ditimba, saya
mulai belajar untuk berjalan dengan hati.
Kadang
alam mempunyai bahasa tersendiri untuk memberikan petunjuk tentang suatu
peristiwa. Hanya orang-orang yang dekat dengan alam akan mengerti dengan
sempurna apa pesan alam, karena mereka akrab dan terbuka dengan alam. Saya ingat
kembali kata-kata dari Emanual tentang pesan alam laut. Emanual mengerti karena
dia hidup setiap hari dengan laut, melihat laut, merasakan laut dan menikmati
laut. Ia mengerti dengan sempurna pesan laut bagi kehidupan mereka. Sementara
saya, mungkin sikap kerendahan hati dituntut untuk berjalan dengan hati,
melihat, mendengar dan merasakan bahwa setiap peristiwa memiliki pesan yang
terselubung. Saya ingat Paulo Coelho dalam sebuah novelnya menulis demikian
kalau kita sudah lelah berjalan kaki, maka berjalanlah dengan hati. Saya
ingat pula nasehat St. Vinsensius A Paulo yang berkata, jika ingin mencintai
orang miskin pergilah ke tempat orang miskin. Mungkin benar, karena dengan
merasakan hidup mereka, melihat, mencicipi kehidupan mereka, kita akan mengerti
kebutuhan orang miskin. Kita akan mengetahui pesan-pesan ilahi yang disampaikan
melalui penderitaan dan kemiskinan mereka “barangsiapa memperlakukan orang
sekecil ini dalam namaku, dia memperlakukan Aku”. Untuk mengerti bahasa setiap
jiwa manusia, dan alam mungkin dituntut berjalan dengan hati.
Oleh : Rm. Mans Werang, CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No.29, Nopember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar