Saat saya mengikuti kelas AGK (Ajaran Gereja Katolik) di SEP (Sentra
Evangelisasi Pribadi) di RMI pada tanggal 1 Oktober 2015, Romo Ignatius Suparno
yang mengajar ASG (Ajaran Sosial Gereja) memberikan tugas yang menantang kepada
kami, yakni untuk menemui secara intensif seseorang yang miskin dan memberinya
ekspresi (menganggapnya sebagai saudara), tidak perlu memberi, dan mengamati
serta merenungkan ekspresinya. Langsung terlintas pikiran saya kepada seorang
bapak tua di gardu di tengah pemisah jalan kembar di samping gereja Katolik
SMTB (Santa Maria Tak Bercela).
Beberapa bulan ini saat saya mulai berusaha membuat kebiasaan ikut misa
harian setiap hari, disaat itulah saat saya menyeberangi jalan dengan berjalan
kaki, saya selalu melihat kepada seorang bapak tua yang duduk-duduk di gardu di
pemisah jalan Ngagel Jaya Utara itu. Hampir setiap kali saya melintasi jalan
disana, saya selalu melihat bapak tua itu. Bahkan saat saya pergi misa dipagi
hari, saya juga melihat bapak itu masih tidur di luar gardu.
Setiap melihat bapak itu, seribu pertanyaan berkecamuk dalam hati saya, seperti apakah bapak tua itu
tinggal di sana; apakah bapak tua itu tidak mempunyai sanak saudara, kalau ada
dimana sanak saudaranya; apakah bapak tua itu tidak kedinginan tidur di luar
gardu semalam-malaman; apakah bapak tua itu sudah makan; dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selama ini, memang beberapa kali saya memberikan
makanan/snack kepada bapak tua itu, hanya sambil lalu saja, tanpa berusaha
untuk membuka pembicaraan kepadanya. Tugas dari Romo Suparno lah yang membuat
saya berpikir, beranikah saya berbicara kepadanya, dan apa yang harus saya
bicarakan dengannya.
Akhirnya saya membulatkan tekad untuk mencoba menghampirinya dan membuka
pembicaraan kepadanya. Nasi bungkus sudah saya siapkan, perlengkapan mandi
(odol, sikat gigi, handuk, sabun), kaos bekas pun sudah saya siapkan (karena
saya melihat bajunya selalu sama, dan saya pernah melihatnya dari toilet gereja
SMTB tanpa membawa apa-apa), uang 50 ribu pun sudah saya siapkan di saku,
tetapi mental saya yang belum siap. Saya takut bagaimana kalau nanti bapak tua
itu meminta uang atau mempergunakan saya, atau bagaimana kalau bapak tua itu
menganggap saya ini terlalu ingin tahu urusannya, bagaimana kalau bapak tua itu
menolak saya dan pikiran buruk lainnya. Saya berdoa dalam hati sambil berjalan
ke sana, setelah lewat sana, saya pulang lagi karena saya masih tidak tahu
harus berbicara apa. Sorenya saya coba lagi ke sana, sambil tetap berdoa dalam
hati saat berjalan kaki ke sana.
Saya memutari gardu dulu sambil memberanikan diri, kemudian saya sapa bapak
tua itu sambil tersenyum “Selamat sore, Pak”. Dan di luar dugaanku, bapak tua
itu pun membalasku dengan senyuman juga. Akhirnya saya memberanikan diri untuk
duduk di dipan kayu di sebelahnya sambil tersenyum dan berkata “Pak, ini saya
ada sedikit makanan dan kaos serta perlengkapan mandi untuk Bapak”. Dan dia pun
bilang kok repot-repot sambil tersenyum. Saya pun memberanikan untuk
berkenalan, dia mengatakan panggil saja Mbah Slamet. Singkat cerita saya pun
mulai bertanya tentang beberapa pertanyaan yang selama ini membuat saya
penasaran. Mbah Slamet ini punya saudara di Surabaya tetapi dia tinggal di
gardu ini katanya untuk menjaga gardu tersebut. Dan Mbah Slamet pun juga
bertanya ke saya, tinggal dimana, kerja apa dan banyak hal lainnya. Saya bisa
membayangkan mungkin Mbah Slamet ini juga heran, saya yang biasanya tidak
pernah omong panjang lebar kok sekarang ini jadi ramah. Sepulang dari sana,
sempat saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk Mbah Slamet ini, apakah
pemerintah bisa mengambil dan merawatnya. Tetapi saya juga tersadarkan akan banyak sekali tuna wisma
di Indonesia ini, bagaimana mungkin pemerintah dapat menolong mereka semua.
Saya pun berpikir, jika saya berpikir orang lain atau pemerintah lah yang akan
menolong, maka orang lain pun bisa berpikir hal yang sama, menganggap toh ada
orang lain atau pemerintah yang akan menolong, dan pada akhirnya mereka-mereka
ini akan tetap miskin, kelaparan dan tidak ada yang peduli.
Beberapa kali setelah tugas itu terselesaikan, sempat terjadi
obrolan-obrolan singkat yang ringan, sambil saya membawakan sesuatu untuk bisa
dimakan Mbah Slamet. Saya sadar, mungkin saya bukan orang yang kaya raya yang
bisa langsung menciduk Mbah Slamet keluar dari kemiskinannya, tetapi saya
berusaha memberikan Mbah Slamet perhatian dan sapaan ringan, yang saya yakin
jarang dia dapatkan dari orang lain. Walau tidak setiap hari, saya berusaha
memberikan makanan seadanya untuk Mbah Slamet dengan sapaan ringan.
Saya bersyukur tugas Romo Suparno ini merubah cara pandang saya dan membuat
saya berani melangkah dan bertindak. Ternyata sosial itu tidak melulu identik
dengan pemberian barang, tetapi bisa juga dengan pemberian perhatian yang
tulus. Semoga kita semua terpanggil untuk memperhatikan mereka-mereka yang
membutuhkan. Semoga Tuhan memberkati :).
Oleh: Olivia Marhalim
Dimuat dalam buletin
Fides Et Actio edisi no.66, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar