Dengan semakin maraknya persoalan sosial yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia yang dengan sengaja merusak alam demi memuaskan nafsu
konsumsi yang tak terbatas, membuat usaha-usaha untuk membendung arus kerusakan
alam tak bisa ditahan-tahan lagi. Disadari bahwa meski sampai hari ini
usaha-usaha itu telah dilakukan banyak pihak, terutama kelompok-kelompok
pemerhati lingkungan, namun nanpaknya tidak cukup. Begitu cepatnya laju
kerusakan alam membuat usaha pencegahan seperti aforestasi dan rehabilitasi
lahan kritis oleh masyarakat maupun tanggung jawab reforestasi oleh korporasi ibarat
balapan antara sepeda pancal dan pesawat jet.
Belum lagi ketergantungan dengan energi berbasis fosil membuat bumi
semakin terluka dan tak mungkin sembuh. Penggalian, pengerukan dan penghisapan
energi fosil dalam bumi menciptakan lubang-lubang raksasa dan hamparan tanah
yang tandus dan sangat tercemar. Sementara daerah pesisir telah dikeruk
pasirnya hingga air laut mencadi ancaman baru bagi masyarakat karena tanggul
alamiahnya terkikis habis oleh aktivitas penambangan pasir tersebut.
Dengan rusaknya alam, berarti juga ancaman serius bagi masyarakat. Bukan
hanya karena bencana ekologis sebagai akibat karusakan itu. Bukan hanya karena
masyarakat rimba tak mampu lagi bisa bertahan dalam kondisi hutan yang semakin
gundul, atau masyarakat pesisir yang tak lagi bisa berharap banyak dari hasil
tangkapan ikan yang semakin sedikit, tetapi ancaman serius yang harus dicermati adalah pada fakta bahwa orang miskin
adalah pihak yang paling terkena dampak buruk dari setiap kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas
eksploitasi terhadap alam.
Dalam acara sarasehan bertajuk “Manusia terhadap Alam: Parasit
atau…? (05/06/16) yang diselenggarakan oleh YKBS, Romo Ignatius Suparno CM membuka
acara dengan mengajak para peserta yang hadir untuk merefleksikan kembali
hakikat bumi sebagai “rumah bersama”. Saat ini bumi sepertinya bukan lagi rumah
bersama karena orang miskin tidak mendapatkan hak sebagai mana layaknya sesama
anggota rumah. Sarasehan yang diadakan karena keprihatinan terhadap kondisi
masyarakat miskin terkait dengan dampak kerusakan alam terhadap orang miskin
ini dihadiri dua pembicara yaitu Gus Roy Murtadho dari Islam Bergerak dan Rm.
Wawan CM dari Yayasan Kasih Bagsa Surabaya ( YKBS).
Dalam paparannya, Gus Roy menegaskan bahwa perusakan alam tidak
lagi memadai hanya dilihat sebagai problem mantal dan moral. Karena
psikologisasi atas berbagai perusakan hanya akan mengerdilkan dan mengaburkan
persoalan yang terjadi sesungguhnya. Kerusakan lingkungan harus dibaca sebagai
problem yang dikonstruksikan oleh sebuah sistem atau institusi global yang
dikendalikan oleh logika produksi tanpa henti. Sebuah sirkuit percepatan
produksi yang ditopang oleh rasa lapar yang tak berkesudahan. Karena itu selain
kritik moral yang bisa diserukan melalui agama perlu dibarengi dengan kritik
struktural melalui ekonomi politik.
Di tempat yang sama, Romo Wawan CM juga menegaskan bahwa orang
miskin adalah pihak yang paling terkena dampak buruk dari akibat kerusakan alam.
Beliau menjelaskan bahwa negara-negara miskin menjadi ladang penghisapan oleh
negara-negara kaya. Hubungan ekonomi antara negara berkembang dan negara kaya hanya
membuahkan semakin hancurnya alam. ”Negara-negara kaya mempunyai utang ekologis
terhadap negara-negara berkembang, yang sumber daya alamnya terus diambil untuk
produksi dan konsumsi tanpa henti” Katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar