Warung
sekitaran rumah. Satu-satunya warung paling ramai kalau malam. Dulu bertempat
di depan kantor pos besar Surabaya tetapi sekarang sering berpindah tempat
dikarenakan pamong praja tidak memperbolehkan berjualan lagi disekitaran
trotoar dan pinggir jalan.
Malam
itu aku mampir ke warung guteh yang sedikit masuk ke dalam jalan Kepanjen.
Tempat gelap, koloni nyamuk lebih banyak dibanding di depan dulu. Ya dan
otomatis pelangganpun berkurang, dan juga laba jadi minus banyak.
Langsung
saja ke percakapan dengan anak guteh, namanya ma'il pria tampan orisinil dari
Madura. Bahasa jawa aje yee, biar lebih syahdu..
Aku : il opo o gak dodolan nang ngarep?
Ma'il : ojok jeck ngkok digowo satpolpp.
Aku : ohh, emange wes pernah kenek gowo ta il?
Mail
: uwes iku kenek kabeh seng nang
ngarep. boy(bakul sego goreng) pisan kenek gowo wingi.
Aku : trus digowo nangndi il rombonge?
Mail
: digowo nang iku jeck.. nang
wonokromo, nang pusate. Bapak (guteh) iku sampe njaluk sepuro ojok diangkut.
Sek diangkut bareng rombong sego gorenge boy.
Aku : hmm.. piro lek nebus il?
Ma'il : 300 ewu aku wingi kenek, dikongkon tanda
tangan surat-surat.
Aku : oh..
Mail : Bapak iku ijen njupuk rono nang wonokromo.
Aku
mulai dengan keabsahan ngecepret.
Aku
: il, awkmu iku asline yo keliru lek
dodol nang trotoar. Makane digusur tros. Wes mending awkmu dodol nang kene ae
masio oleh titik gapopo.
Aku : lek nang kene oleh piro seh il, kiro-kiro
oleh piro?
Ma'il : titik jeck gak kyok nang ngarep.
Aku : lah iyo titik iku piro?
Mail : yo kadang 50 kadang 100 jeck sakdino.
Aku : lek nang ngarep oleh piro?
Ma'il
: Iso 500, lek ben sabtu sampe 2 juta
jeck. Soale akeh bien pelangganku. Saiki ilang kabeh.
Aku : luh akehne il! Hhahasem..
Aku
: yoweslah il nang kene ae daripada
awakmu bolak-balik kelangan duwek 300 gae nebus rombong.
Cukup
karena dialog yang tak disengaja itu lumayan panjang. Apa ini ada hubungannya
dengan pergerakan sosial? Sebagai kesimpulan dan jawaban.
Ma'il
yang waktu itu juga mengatakan adanya biaya retribusi sebesar 200 ribu.
Diberikan pada satpolpp setiap bulan sebagai jaminan kalau mereka diperbolehkan
jualan di trotoar. Setelah beberapa tahun, mereka pernah menanyakan perihal
retribusi itu. Satpolpp mengatakan bahwa komandan yang menerima uang telah
dipindah tugas ke tempat lain dan mereka akan tetap dialihkan atau diangkut
rombongnya. Ini adalah salah satu bentuk manipulasi oleh satpolpp.
Mereka
(ma'il dan guteh) mempunyai inisiatif konyol demi bisa kembali ke trotoar lagi,
dengan menominalkan kesepakatan menjadi 10 juta. Tapi itu urung dilaksanakan
karena saya memberi pesan kepada mereka. Intinya Jangan mengulangi kekeliruan
yang sama. Bahwa tidak ada jaminan tidak akan diusik karena semua komandan
satpolpp mempunyai masa tugas, sewaktu-waktu bisa pindah atau kabur karena
masalah. Ya mudah-mudahan itu menyelamatkan uang 10 juta mereka. Itu cuma salah
satu kisah biasa. Semoga cocok dikunyah oleh kawan-kawan.
Untuk
pergerakan sosial: Ini adalah aktivisme sederhana yang bisa dilakukan oleh
berbagai jenis makhluk sosial. Memberi kesadaran kepada kelas bawah dengan
informasi sepele yang mereka tidak mengetahui. Membangun relasi sosial dengan
mereka. Mengakrabkan diri dengan orang tertindas.
Sharing
ini bukan bermaksud sebagai pencaharian identitas sosial seperti umumnya.
Kewajaran ini yang harusnya dilakukan oleh kaum muda. Harus disadari,
eksistensi gerak sosial selama ini hanyalah sesuatu yang semu, terhambat oleh
kontradiksi idealisme masing-masing. Satu hal yang pada hakikatnya sama sekali
tak membawa perubahan bagi si miskin. Meskipun hanya perubahan kecil. Kita
berjalan sombong dengan kekakuan kepala tanpa menengok kanan-kiri. Bahwa dikanan-kiri
masih ada ketertindasan yang tidak dikenali. itu adalah sebuah kekonyoloan jika
hidup kita berkutat dalam pergerakan sosial. Lantas apa yang dituju?
Kawan-kawan
ketuklah dulu hati si miskin sampai dibukakan. Seketika ketuklah jidatmu. Baru
uruslah moral si penghisap.
Pesan
dari mak erot: Berjuang untuk kebenaran serta keadilan dalam hal berpikir dan
bertindak usahakan adil, dan terapkan keduanya juga secara adil. Sinkronisasi
kedua hal tersebut dengan kenyataan praktikal-sosial, tanpa kemaruk jadi pengadil
yang ujung-ujungnya tak adil juga.
Oleh : Darius Tri Sutrisno
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi No.75, September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar