Kereta
ekonomi Logawa jurusan Jember-Purwokerto telah mendekati Stasiun Madiun. Jarum jam menunjukkan pukul satu
lewat sepuluh menit, siang. Udara terasa sangat gerah, AC kereta
tidak mampu
mengusir hawa panas. Penumpang yang memenuhi tempat duduk sibuk mengusap
keringat. Rasa panas diperparah oleh panasnya hati karena setiap kali kereta
berhenti “kress”, istilah untuk mengatakan sisipan antar
kereta, terlebih ketika kereta ekonomi harus mempersilakan
kereta bisnis dan eksekutif
lewat lebih dahulu. Untuk
meringankan suasana, beberapa penumpang berseloroh memelintir nama kereta ekonomi Logawa
menjadi “legawa”, legawa
merelakan kereta lain lewat.
Drama Keluarga Sederhana
Di Stasiun Madiun kereta berhenti untuk menurunkan
dan menaikkan penumpang. Pada saat itu itu naiklah sepasang
suami isteri muda. Sang isteri, perempuan usia
tigapuluhan, berjalan di depan menggandeng anak perempuan
berumur delapan tahun, kelas dua SD. Sang suami yang berumur dua tahunan lebih tua dari isterinya itu
menggendong anak perempuan berumur
satu setengah tahun. Setelah mempersilakan istrinya duduk untuk memangku anak
kecilnya, lelaki bertubuh gemuk itu langsung sibuk
menaikkan tas dan dua kardus, entah
berisi apa. Dengan
cermat lelaki itu menata barang-barangnya di bagasi kereta.
Setelah membereskan
posisi bagasinya, sang ayah segera menyiapkan makan siang untuk anaknya yang
besar. Cukup mengejutkan karena bapak ini dengan kelembutan dan kasih sayangnya
menyiapkan makanan bagi anaknya tanpa canggung sedikitpun. Ia mengerjakan hal yang biasanya dilakukan
oleh seorang ibu terhadap anaknya. Ia membuka rantang plastiknya, mengambilkan
nasi, ayam goreng dan sambal kering untuk anaknya. Ia melap tangan anaknya
dengan tisu. Dan tanpa
dikomando anaknya langsung menyantap makanannya dengan tangan, tanpa sendok. Seperti
menyambut dengan penuh syukur, anak itu tak menyisakan sedikitpun apa yang
disajikan ayahnya, bahkan paha ayam itu disantap tuntas, tinggal tulang bersih,
tak tersisa satu seratpun dagingnya. Nampak sekali kalau anak ini sangat
terbiasa menghargai setiap makanan yang diberikannya.
Sementara
kereta berjalan, sang ayah membuka termos, mencampur susu dengan air panas dan
menambahkannya dengan air dingin, lalu memberikannya kepada anaknya yang kecil.
Begitu dua anak ini selesai makan dan minum, mereka bercengkerama dengan
lucunya. Sang kakak mengajari adiknya menyanyi lagu anak-anak, selayaknya di
ruang kelas TK. Bahkan sesekali anak yang besar mengajar adiknya menyanyi menirukan guru TK yang sedang
mengajar muridnya. Setelah itu anak-anak ini saling berpelukam. Sang kakak
menggelitiki adiknya dan adik mencubit-cubit pipi kakaknya. Mereka benar-benar
menggambarkan sukacita dan persahabatan tulus anak-anak Allah.
Setelah
kereta berjalan sekitar dua jam, mereka terlihat lelah. Ketika bayi kecil itu
terlihat kehausan, sang ibu memberi makanan utamanya, ASI, air susu ibu. Ibu
ini mengambil posisi membelakangi semua penumpang lain, menutup bagian tubuhnya yang atas
dengan jumbai jilbabnya, lalu menyusui anaknya. Sang ayah mengipasi
ibu dan anak ini dengan penuh kasih.
Kereta terus melaju ke arah barat. Udara memang terasa makin
panas, akan tetapi suasana berganti. Panasnya kereta disejukkan oleh
pemandangan drama penuh cinta keluarga muda tadi. Nampak
sekali bahwa adegan-adegan sederhana yang penuh arti ini sungguh mencuri
perhatian penumpang yang lain. Ada yang
mulai membisikkan kekaguman akan ungkapan relasi
kasih keluarga itu, ada yang lalu mengulurkan roti pada anak-anak tersebut, ada
yang lalu memberi senyum penuh penghargaan kepada mereka sekeluarga, ada yang
lalu bertanya lebih detail mau kemana, mengunjungi siapa, acara apa, dan
sebagainya.
Hampir tak percaya, laksana orang kehilangan, penumpang yang
tersisa tak rela melihat sepasang suami istri dengan dua anak tadi turun di
Stasiun Gombong. Seperti tak sabar, semua langsung membicarakan atraksi penuh
cinta keluarga muda tadi. Tanpa terasa udara yang panas di kereta
ekonomi Logawa ini benar-benar telah
berubah menjadi sejuk,
akibat potret teduh keluarga
yang saling mengasihi, keluarga yang saling memberikan diri satu sama lain.
Injil Baru
Sentuhan manusiawi di atas mengingatkan kita akan panggilan hidup
keluarga Kristiani yang bersifat sakramental, yang menjadi sarana dan tanda
hadirnya cinta kasih Allah. Keluarga tadi telah menjadi guru bagaimana keluarga
dihidupi bukan hanya dengan pemberian-pemberian barang besar, tetapi dengan
pemberian diri yang tulus dan total, kasih sayang yang diungkapkan dengan penuh
kesederhanaan.
Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiarsi Consorcio mengingatkan kita
untuk terus memberi arti yang mendalam pada hidup perkawinan sebagai sebuah nilai kemanusiaan yang paling berharga (FC-1). Bahkan
dengan istilah yang agak menantang ia mengungkapkan perlunya Gereja menghadirkan “injil baru” bagi umat beriman yang menikah.
(FC-4). Tentu itu tidak dimaksudkan untuk mencetak Injil kelima setelah
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Tetapi mencari apapun warta gembira yang
bisa meninspirasi tumbuh kembangnya cinta kasih leuarga, sampai mencerminkan
cinta kasih sempurna Kristus.
Lebih lanjut Paus Yohanes Paulus II
mengungkapkan bahwa jaman modern ini memerlukan
kebijaksanaan ilahi, lebih daripada sekedar kebijaksaan manusiawi (FC-8).
Karena itu, sederhana namun sangat menarik, bahwa pengalaman manusiawi keluarga
di gerbong kereta tadi telah menginspirasi setiap orang yang menyaksikannya
untuk menghidupi cinta kasih ilahi.
Oleh : Rm. Ignatius Suparno CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi
No.82, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar