Inilah
ceritaku, cerita tentang pengalaman pertama bertemu dengan adik-adik dampingan
Sanggar Merah Merdeka di dekat stasiun Wonokromo. Aku datang dengan harapan
bisa turut mendampingi anak-anak di daerah itu dalam belajar. Karena pengalaman
pertama, aku ingin tampil sedikit rapi dari biasanya, baju kumasukkan sisiran
serapi mungkin, jenggot dikerok habis. Jreng..jreng… mulus dan rapi. Sayang
tidak ada minyak wangi untuk melengkapi penampilan pertamaku hehe…. Sesampai di
tempat pendampingan, ooww…bagaimana ngomongnya ya, emm.. bisa dibilang ini
adalah awal yang sulit untuk memulai kegiatan. Aku datang dalam bayanganku
sendiri yang khas tentang kegiatan pendampingan belajar. Aku tidak membayangkan
bahwa anak-anak itu belajar diantara tumpukan barang bekas yang menggunung. Aku
tidak membayangkan bahwa di daerah ini sulit sekali mencari tempat yang “layak”
untuk mendampingi anak-anak bermain dan mengerjakan pekerjaan rumah. Aku hanya
diam dan mengamati sekeliling saja. Di ujung sana ada dua bak truk sampah yang
belum diangkut ke pembuangan akhir. Anak-anak yang datang menyalamiku tak
kuingat wajahnya karena pikiranku sedang melayang karena tidak habis pikir.
Aku
berjalan ke samping pos kamling yang
biasa dipakai anak-anak untuk belajar.
Aku duduk menghadap barat dan kusandarkan punggungku di tembok pos,
berharap anak-anak tak melihat ekspresi wajahku yang mungkin terlihat konyol.
Kudorong sedikit becak yang diparkir di samping pos agar aku bisa duduk dengan
nyaman. Rasanya becak ini membuat sekitar pos ini semakin sempit saja. Kuambil
kotak rokok di saku celanaku berniat
ingin menghilangkan perasaan yang aneh ini. Ah.. iya aku lupa bahwa di sini
banyak anak kecil. Jadi kuurungkan niatku untuk merokok. Kukulum sebentar
bibirku hanya untuk menggantikan kekecewaan karena tidak berhasil mengumpulkan
kenekatan untuk merokok. Dua orang di depan pos tampak asyik ngobrol sambil
memasukkan barang hasil pulungan tanpa sedikitpun terlihat peduli dengan
kegiatan pendampingan belajar di dekatnya, sambil rokokan pula, heh,, tambah
jengkel saja.
Jika
semuanya terasa sempit begini, mungkin melihat ke atas akan terasa lebih
melegakan. Syukur-syukur ketemu bintang dan bulan, mereka pasti mau menemaniku
mengusir kegalauan ini. Namun sepertinya di sini tidak ada langit. Yang ada
hanya sekotak pandangan kosong disela-sela atap seng rumah warga. Langit
mungkin masih ada tapi bulan dan bintang sepertinya sedang pergi, maka
kudongakkan kepalaku berharap bisa melihat langit biru di sela-sela atap rumah
warga yang padat ini. Sebelum mata mendapatkan langit, cahaya dari kendaraan
yang lalu lalang di flyover menarik
mataku untuk mengamatinya. Hanya berjarak 20 meteran dari tempatku duduk adalah
flyover yang megah, beberapa meter
sebelahnya adalah mall. Sekitar 10 meteran dari pos ini ada papan eboard besar yang memancarkan sinar
warna-warni. Memandang ke atas nampaknya mengasyikkan. Cahaya dari mall dan
dari lampu kendaraan yang melintasi flyover
seperti lighting panggung yang megah.
Ditambah cahaya warna-warni dari papan eboard
membuat pemandangan menjadi sangat atraktif dan meriah.
Namun tak
lama aku bisa menikmati cahaya-cahaya itu karena mataku terasa sakit karena
silau. Kualihkan pandanganku pada anak-anak yang sedang belajar bersama
beberapa relawan sanggar. Dari tadi suara mereka terdengar seperti deru kibasan
sayap ribuan lebah. Sinar dari cahaya lampu yang barusan kulihat membuat
pandanganku agak buram. Kupicingkan mataku sambil memejam-mejamkannya beberapa
kali agar keburaman ini cepat pudar. Belum sempat mataku menatap anak-anak,
nampaklah atap seng yang sudah karatan, becak yang tak terawat, tumpukan barang
bekas dan sampah yang berserakan. Aku terkejut. Begitu kontras… Bukan kah aku
tadi sudah melihat itu semua, mengapa masih terkejut juga? Tergoda aku untuk
membandingkan perbedaan ini, kuarahkan lagi mataku ke arah flyover lalu kupindahkan segera ke tumpukan barang bekas, begitu
kulakukan berkali-kali. Mungkin perasaan “kontras” ini hanya masalah
pembiasaan. Tapi sayang.. ini bukan tentang kebiasaan. Apa yang kulihat ini
memang benar-benar kontras, timpang dan tak sebanding. Di tempat ini kemiskinan
benar-benar mudah terlihat dan sangat terasa.
Akhirnya aku
masuk pos, satu anak terlihat mengantri
ingin menanyakan sesuatu pada kakak pendamping. Kuajak anak itu duduk
disampingku. Ada pekerjaan rumah yang sulit ia kerjakan. Dengan segala
kesabaran kudampingi dia sampai seluruh PRnya selesai dia kerjakan. Ketika
anak-anak mulai pamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, aku bertanya dalam
hati; bagaimana mungkin anak kelas 5 SD kok tidak cakap berhitung dan membaca
pun masih mengeja. “Ah sudahlah.. sebelumnya kan aku sudah diberitahu oleh
teman-teman relawan lainnya mengenai kondisi mereka”: begitu kataku dalam hati,
karena mengenang hal seperti itu di pikiran hanya bikin pusing saja.Tetapi
kata-kata itu tak mensugesti aku untuk melepaskan ingatan-ingatan “kaget” ku.
Apa yang kubayangkan dari apa yang kudengar ternyata terlalu manis dibandingkan
dengan apa yang kulihat dan alami sendiri. Dalam perjalanan pulang aku
tersenyum kecut. Kubayangkan diatas kepalaku ada lingkaran seperti malaikat,
bukan lingkaran cahaya, tapi lingkaran dengan banyak tanda tanya mengitari
kepalaku.
Oleh : Johanes Lasmidi
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.87, September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar