Sore itu aku diajak beberapa teman untuk ikut buka puasa bersama.
Bagiku ini bukan hal baru, sebab sudah sering aku ikut atau mengadakan berbuka
puasa bersama. Tetapi biasanya di rumah makan, hotel atau tempat-tempat makan
yang lain. Beberapa kali aku juga mengadakan buka puasa bersama di aula gereja.
Kali ini aku ikut berbuka puasa bersama di sebuah masjid yang sangat besar.
Sebetulnya letak masjid ini hanya beberapa meter saja dari sebuah gereja
paroki. Tetapi aku yakin bahwa belum pernah satu romo pun dari pastoran itu
yang datang dan masuk ke masjid ini. Meski mungkin sudah ratusan kali melewati
depan masjid ini.
Beberapa anak menghidangkan nasi bungkus dan sate ayam. Suatu hal
yang mewah. Masih ditambah satu kotak berisi kue dan kurma. Setelah makan kami
duduk berkumpul bersama beberapa anak muda yang tergabung dalam IPNU (Ikatan
Pelajar NU). Mereka sedang mengadakan Ramadhan Camp di masjid itu. Obrolan
ringan mengalir begitu saja meski jarak usia kami cukup jauh. Tidak ada basa
basi yang tidak perlu apalagi kecurigaan. Pembicaraan kami berkisar tentang
organisasi keagamaan dan apa yang dapat dilakukan pada jaman ini.
Kami bubar sebab mereka akan melakukan sholat tarawih. Aku pulang
untuk mandi. Setelah mandi aku berangkat lagi ke sebuah paroki. Di situ sudah
menunggu seorang kyai, aktifis Ansor dan beberapa orang lagi. Kami mengobrol
aneka hal. Menceritakan hal yang lucu tentang ajaran agama kami. Tidak ada
sakit hati atau merasa terhina atau merasa agama yang dianut sudah dilecehkan
seperti yang ribut di DKI. Semua tertawa bersama sambil menikmati kopi. Tidak
terasa malam sudah bergeser menjadi pagi.
Kami yakin akan kebenaran agama kami masing-masing maka kami tidak
goyah atau ragu atau marah saat orang yang beragama lain melihat salah tentang
agama kami. Kami juga tidak iri atau tertarik untuk pindah agama saat orang
beragama lain menceritakan kehebatan agamanya. Bagiku inilah kedewasaan
beriman. Bukan seperti anak kecil yang mudah tersinggung lalu mengajak
berkelahi saat diolok sebab mereka belum yakin dengan dirinya dan belum mampu
berpikir jernih sehingga masih sangat dikuasai emosi. Apakah kami orang bodoh
sehingga tidak tahu agama kami? Aku yakin tidak. Dari diskusi itu tampak bahwa
kami belajar sejarah dan kitab-kitab agama. Bukan sekedar membaca tulisan
penulis abal-abal di internet yang merasa tahu semua kebenaran.
Setelah makan sahur bersama aku pulang ke pastoran tempatku
menginap. Sudah lama aku tidak naik motor pada dini hari. Maka naik motor
sambil diterpa angin pagi membuatku terkenang kembali saat mendampingi anak
jalanan yang sering membuatku pulang ke pastoran pada dini hari. Atau saat
masih mendampingi buruh di Tangerang sedangkan aku tinggal di Priok. Sering aku
pulang dari Tangerang lewat tengah malam sehingga sampai di Priok sudah dini
hari.
Sambil menikmati perjalanan naik motor terlintas dalam pikiranku,
apakah yang terjadi sejak sore sampai dini hari ini menggambarkan surga? Atau
kami semua termasuk orang sesat yang akan masuk neraka? Bagiku jika kami semua
masuk neraka maka cangkrukkan kami akan semakin lama. Kami hanya perlu membawa
kopi, air dan rokok saja. Neraka sudah menyediakan api. Siapa tahu banyak setan
akan bergabung ikut cangkruk bersama. Tentu suasana semakin ramai tawa sebab
akan semakin banyak yang membuat cerita lucu tentang iman mereka. Membayangkan
ini kurasa lebih enak di neraka daripada di surga yang dipenuhi orang serius
dan hanya berbicara hal-hal hebat tentang agamanya. Tidak berani membuat
lelucon tentang agamanya. Sebaliknya dahi mereka berkerut berusaha mencari
kesalahan agama lain sambil merakit bom untuk menghajar orang yang dianggap
menyerang agamanya.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 86, Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar