Sore, pulang dari sekretariat, aku mampir membeli bensin di pom
bensin Jalan Bromo. Seperti biasanya aku melihat beberapa anak menawarkan buku
mewarnai kepada yang membeli bensin. Pemandangan yang pasti terlihat tiap sore
hari di pom tersebut.
Aku bertanya dalam hati setiap kali melihat mereka, koq anak-anak
ini setiap sore selalu ada disini ya? Suatu ketika aku sempat bertanya kepada
petugas pom di mana orang tua mereka.
Ada di warung seberang pom, sahutnya.
Biasanya aku menolak jika mereka menawarkan buku tersebut dengan
alasan bahwa di rumah sudah ada. Kali ini aku membelinya dengan harapan bisa
lebih banyak tahu tentang mereka. Ketika aku sedang antri, salah satu dari
mereka menghampiri aku dan menawari dengan harga 10 ribu dapat tiga. Lalu aku
mencoba untuk ngobrol dengan mereka.
Mereka menceritakan bahwa ibu mereka bekerja sebagai buruh cuci.
Salah satu dari mereka bapaknya bekerja sebagai kuli angkut di Jogja. Hasil
dari berjualan untuk membiayai sekolah.
Beberapa dari cerita mereka ada kesamaan satu dengan yang lain. Seolah
memang terkesan sudah diatur bila mereka ditanya untuk apa mereka berjualan
buku.
Dalam sudut pandang kita, mungkin kita akan menyalahkan orang tua
karena mengeksploitasi mereka, mengapa anak-anak yang masih kecil dipaksa untuk
berjualan di jalanan dengan resiko yang sangat tinggi. Seharusnya mereka
bersekolah dengan tenang tanpa beban dan bermain menikmati masa kanak-kanak
mereka dengan teman sebaya.
Situasi yang mereka alami sebenarnya adalah akibat dari kemiskinan
yang dihadapi oleh orang tua mereka dan masyarakat miskin kota pada umumnya.
Orang tua mereka tidak bermaksud untuk mengeksploitasi. Mereka tidak mengenal
istilah eksploitasi, UU perlindungan anak
dan lain sebagainya. Kemiskinan yang memaksa mereka melibatkan anak-anak
untuk membantu mencari sebungkus nasi dan sejengkal masa depan.
Eksploitasi Anak
Tindakan orang tua melibatkan anak dalam mencari nafkah atau
bekerja tidak dapat dibenarkan. Secara hukum tindakan orang tua yang
mempekerjakan anak di bawah umur dapat dikatakan telah melakukan eksploitasi
anak. Tindakkan tersebut jelas melanggar Undang Undang nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang 13 Tahun 2003 pasal 68 tentang
Ketenagakerjaan, serta Perda Kota Surabaya Nomer 6 Tahun 2011 tentang
Penyelengaraan Perlindungan Anak.
Masyarakat Miskin Kota
Kemiskinan, terutama di kota akan menimbulkan masalah yang kompleks
di masyarakat. Kemiskinan menyebabkan sulitnya akses pekerjaan sehingga
menimbulkan pengangguran atau kurangnya penghasilan untuk keluarga sehingga
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup. Keluarga miskin juga akan
mendapat kesulitan untuk mengakses kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Itulah
mengapa banyak anak-anak dari keluarga miskin yang harus membantu orang tua
mereka mencari nafkah. Tidak jarang diantara mereka akhirnya menjadi anak
jalanan. Beberapa diantara mereka bahkan terpaksa melakukan tindak
kriminalitas.
Kondisi tersebut membawa dampak yang lebih jauh seperti timbulnya
masalah sosial di masyarakat, sehingga mereka atau kelompok miskin kadang kala
tidak dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap menggangu.
Masyarakat, khususnya rakyat miskin, memerlukan berbagai akses
seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan lain-lain. Mengusahakan agar
akses tersebut tersedia bagi semua warga negara merupakan tugas Negara, agar
kesejahteraan seluruh rakyat terpenuhi. Hanya saja akses-akses yang telah
disediakan tidak sampai menyentuh rakyat miskin atau hanya dapat dinikmati oleh
kalangan masyarakat tertentu. Lalu benarkah negara tidak mampu hadir dalam
menangani kondisi tersebut?
Negara dalam hal ini pemerintah, khususnya Pemkot Surabaya telah
berusaha melakukan upaya dalam penanggulangan kemiskinan kota dengan membuat
program-program yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Namun sayangnya program
tersebut kurang maksimal.
Erna Setjianingrum, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Airlangga Surabaya menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
program yang selama ini dibuat untuk menanggulangi kemiskinan tidak maksimal. Dalam
pelaksanaannya program tersebut mengalami tumpang tindih dengan instasi yang
terlibat dalam program itu, hal ini terjadi karena kurang terkoordinir dengan
baik.
Dalam penelitian juga disebutkan program apa saja yang mengalami
tumpang tindih atau overlapping
seperti, 1) Pemberdayaan ekonomi bagi keluarga miskin oleh Badan Pemberdayaan
Masyarakat (Bapemas) overlapping dengan pelatihan handycraft, menjahit dan tata boga oleh
Dinas Sosial. Kedua program tersebut pada intinya adalah sama yaitu memberikan
pelatihan keterampilan seperti menjahit, membuat handycraft dan lain-lain yang sasarannya adalah perempuan keluarga
miskin. 2) PMT atau bantuan makanan untuk lansia yang dilakukan oleh Dinas
Sosial overlapping dengan program pemberian
makanan ringan untuk lansia oleh Dinas Kesehatan. Pada dasarnya kedua program
ini bertujuan sama yaitu perbaikan gizi pada lansia. 3) Pendididikan lanjutan siswa
bermasalah sosial oleh Disnaker overlapping
dengan peningkatan kesejahteraan sosial bagi PMKS Pondok Sosial Anak Wonorejo
oleh Dinsos.
Jika kita melihat gambaran diatas, masihkah kita melihat
kemiskinan sebagai takdir? Atau kemiskinan sebagai akibat kemalasan?
Lalu apa yang dapat kita lakukan? Memberikan bantuan dalam bentuk
karitatif adalah baik namun akan lebih baik lagi jika kita juga memahami apa
yang sebenarnya mereka butuhkan dengan cara melakukan pendekatan secara
berkelanjutan sehingga kita dapat memberikan bantuan secara tepat tanpa
mengabaikan pontensi yang mereka miliki.
Oleh : Andri Prapto Prastiantono
Dimuat
dalam buletin Fides et Actio edisi no. 87, September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar