Solidaritas menurutku adalah nilai yang tertanam dalam hati dan
menggerakkan orang untuk peduli pada sesamanya. Dimulai dari rasa empati yaitu
keprihatinan akan situasi atau kondisi sesama lalu berbuah pada tindakan.
Beberapa kali dalam kisah mujijat dalam Injil dimulai dari rasa belas kasihan
Yesus terhadap orang yang dijumpai. Dia lalu berbuat sesuatu untuk membebaskan
orang itu dari penderitaannya.
Jadi awal semua tindakan, perkataan dan sikap adalah rasa empati
pada sesama. Tindakan belas kasih tidak menunggu moment tertentu. Misalnya ada
bencana lalu ramai-ramai memberi sumbangan. Seolah kalau tidak memberi
sumbangan merasa tidak mempunyai belas kasih. Jika kita belajar dari Yesus maka
perbuatan belas kasih tidak perlu menunggu moment tertentu. Dimana saja dan
kapan saja Dia melakukan belas kasih. Saat sedang berjalan melintasi suatu
daerah Dia melihat ada orang sakit. Terdorong oleh rasa belas kasih maka Dia
menyembuhkan orang itu.
Dalam perjalanan hidup kita sering berjumpa dengan orang-orang
yang menderita. Memang paling mudah melihat orang menderita jika melihat orang
miskin yang berpakaian compang camping atau orang cacat yang kehilangan anggota
tubuhnya atau orang sakit parah dan sebagainya. Tetapi sebetulnya jauh lebih
banyak lagi orang yang menanggung beban penderitaan yang tidak dapat dilihat
oleh mata kita. Misalnya orang yang kehabisan uang padahal keluarganya sedang
sakit. Orang yang tidak mendapatkan kasih sayang. Orang yang sedang mengalami
krisis kehidupan. Orang yang sedang diambang perceraian. Orang yang pedih
memikirkan anaknya. Masih banyak lagi contoh penderitaan yang ditanggung orang
yang tidak dapat dilihat oleh mata kita, sebab mereka semua tidak tampak cacat.
Pakaian tidak compang camping. Tidak tergeletak di ranjang. Mereka semua ada di
sekitar kita. Bahkan mungkin duduk atau berdiri beberapa centimeter di hadapan
atau disisi kita.
Oleh karena kita tidak peduli maka kita tidak pernah memahaminya.
Bahkan mungkin kita menambah beban hidupnya melalui perkataan dan teori-teori
kita. Dengan cerita tentang kehebatan-kehebatan kita. Kesuksesan dan
kebahagiaan kita. Memang tidak salah kita berbicara semua itu, sebab itu memang
pengalaman diri kita sendiri. Tetapi jika kita memiliki rasa solidaritas, maka
apakah kita tega mengatakan semua itu?
Dalam hal ini hanya satu yang perlu kita renungkan. Apakah kita
masih mempunyai empati pada sesama sehingga mampu bersolidaritas pada mereka?
Apakah perkataan kita tidak menjadi sebuah hinaan dan perendahan martabat
sesama kita? Tidak semua hinaan terwujud dalam perkataan kasar. Dapat juga
terwujud dalam perkataan halus dan wajar. Penulis surat Yakobus memberi contoh
orang yang tidak mempunyai belas kasih. “Jika seorang saudara atau saudari
tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari
antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah
sampai kenyang!," tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi
tubuhnya, apakah gunanya itu? (Yak 2:15-16) inilah contoh orang yang tidak mampu
bersolidaritas dan dianggap oleh penulis Yakobus sebagai orang yang tidak
mempunyai iman.
Yesus mengajarkan solidaritas, sehingga Dia yang adalah Allah rela
berinkarnasi menjadi manusia yang setara dengan kita. Ini contoh apa yang
seharusnya kita lakukan jika kita mengaku beriman padaNya. Iman bukan sekedar
aku percaya pada Tuhan, sebab setan pun percaya pada Tuhan. Iman adalah
melaksanakan apa yang diajarkan Tuhan. Bukan sekedar misa atau mengucapkan doa
yang panjang dengan bahasa yang indah-indah atau merayakan liturgi yang lain
dengan aneka kemegahannya. Iman adalah kepedulian pada sesama yang miskin dan
menderita karena terdorong oleh belas kasih. Seperti yang diajarkan oleh Yesus
bahwa orang yang masuk surga itu yang memberi makan, pakaian, minum, mengunjungi
orang menderita. Untuk itulah Yesus datang ke dunia. Untuk itulah kita diutus.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi no.87, September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar