26 Nopember 2017, sang surya tepat berada diatas kepala. Udara
cukup gerah, ditambah lagi aku memakai kaos tebal rajutan lengan panjang dan
berleher tinggi. Sengaja aku memakai pakaian perang seperti itu untuk mencegah
aku dari kedinginan di sepanjang perjalanan. Harapanku, jika badanku merasa
cukup hangat maka aku terhindar dari terlalu seringnya ritual ke toilet. Dengan
begitu aku akan bisa menikmati perjalanan dengan nyaman dan bisa tidur untuk
membayar hutang tidur malam sebelumnya. Meski kenyataannya selama 4 jam
perjalanan aku tidak terlelap sedetikpun meski mata sudah terpejam.
Turun dari kereta yang membawa
rombongan kami dari Surabaya, kugendong ransel hijau kapasitas 40 liter
kesayanganku - yang cukup berat - di punggungku, lalu berjalan menuju gerbang
kedatangan di stasiun itu. Sambil menunggu mobil taxi carteran yang akan
membawa kami ke Tawangmangu, kami hanya bisa berdiri diantara lalu lalang
manusia dan kendaraan di lahan parkir stasiun. Aku mulai merasa bosan dan
kegerahan.
Ditengah kebosananku, kuperhatikan keadaan sekeliling. Sekelompok
pria usia senja berseragam kaos warna merah, hijau dan oranye menarik
perhatianku. Kuperhatikan wajah-wajah dan gerak gerik mereka. Berdiri di
gerbang kedatangan dan menyongsong para penumpang kereta yang keluar melewati
gerbang kedatangan bak lebah yang semburat.
Pria-pria sederhana dengan wajah penuh harap menawarkan jasa
transportasi becak kepada para calon penumpang mereka, yang ironisnya hanya
sebagian kecil yang mau memakai jasa mereka. Tak jarang mereka harus mengejar
dan menjejeri langkah para calon penumpang demi mendapatkan penumpang. Kuamati wajah penuh harap yang berubah
menjadi lesu karena harapan yang pupus. Tapi mereka tak kenal berhenti, terus
mencoba memprospek calon penumpang.
Di gerbang kedatangan, para penjaja alat transportasi manual itu
tidak sekedar menyongsong para calon penumpang mereka, melainkan lebih dari
itu. Mereka menyongsong harapan baru. Harapan mendapatkan uang penukar jasa
kayuh untuk dibawa pulang dan diserahkan kepada istri dan anak-anak mereka.
Rejeki yang halal untuk membuat dapur rumah mereka tetap mengepul sehingga perut-perut anggota keluarga mereka tetap
dapat terisi agar tetap hidup. Ya, mereka mengayuh becak sekedar untuk bisa
hidup, bukan untuk menjadi kaya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa jasa transportasi becak sekarang
sudah makin tersingkir. Angkutan jaman dulu ini sudah bukan menjadi pilihan
utama lagi. Tergantikan oleh jasa transportasi modern tenaga mesin yang lebih
cepat dan lebih murah. Jalur-jalur becak pun mulai dipangkas dimana-mana. Becak
dilarang masuk jalan-jalan utama karena disinyalir menjadi penyumbang kemacetan
lalu lintas. Terlebih di tengah maraknya jasa transportasi berbasis aplikasi
on-line yang terbukti lebih murah dan lebih mudah didapat. Mungkin bagi
sebagian orang, terutama anak muda, di jaman now ini sudah nggak keren lagi
kalau harus naik becak. Yang jadi peminat becak di jaman now ini mungkin
hanyalah emak-emak atau mbah-mbah yang tidak fasih menggunakan telepon seluler
untuk memesan jasa transportasi online. Apalagi naik becak di tengah kepadatan
lalu lintas perkotaan yang rata-rata pengguna jalannya kurang mau mengalah.
Main serobot sana-sini. Bisa dibayangkan bagaimana tenaga manusia harus melawan
tenaga mesin. Siapa yang akan kalah? Ngeri juga sih...
Memang sungguh dilematis. Aku akui, aku sendiri adalah orang yang
termasuk sering memanfaatkan jasa transportasi online. Selain mudah didapat
kapanpun dan dimanapun serta lebih cepat, ongkosnya pun sangat bersahabat
dengan kantong, terutama bagi kantong karyawan.
Tapi melihat nasib orang-orang berusia senja yang hanya punya tenaga
untuk dijual, seperti para tukang becak itu, sekelumit rasa berdosa terselip dalam
hati ini.
Mungkin baik adanya jika sesekali kita tetap menggunakan jasa
tukang becak itu meski ongkosnya kalah bersaing dengan jasa transportasi
on-line. Terlebih untuk jarak tempuh dan lokasi yang masih terjangkau dengan
kayuhan tenaga manusia. Anggap saja kita bersedekah tanpa melukai harga diri
mereka - yang masih berusaha menghindarkan diri dari meminta-minta / mengemis
dan menghindarkan diri dari pekerjaan yang tidak halal. Bukankah tertutupnya
kesempatan bagi kaum dengan sumber daya minim juga menjadi salah satu penyebab
kemiskinan dan maraknya tindak kejahatan seperti pencurian, penjambretan, dan
perampokan di muka bumi ini? Kalau kita tidak punya modal besar untuk menjadi
pengusaha yang bisa membuka lapangan pekerjaan halal dan memberi kesempatan
kerja bagi orang lain, setidaknya kita masih bisa menjadi pemberi kesempatan
kerja itu dengan cara yang sederhana, yaitu dengan menjadi penumpang alat
transportasi jadul itu.
Menurutku, sangat disayangkan pula jika becak menjadi punah. Hidup
becak!!!
Oleh : Luciele
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no.93, Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar