Sebelum memulai aktivitas di pagi hari, ibu selalu menyempatkan diri untuk menyediakan makanan. Berbagai jenis makanan berat, roti maupun jajan pasar disiapkan untuk sarapan pagi. Namun terkadang, meja makan itu tak berpenghuni. Hanya ada tudung yang ketika dibuka terdapat secarik kertas bertuliskan ‘Sarapan Pagi di Warteg ya’.
Jika demikian, tandanya ibu tidak sempat menyediakan atau memasak dengan berbagai macam alasan dan saya harus memahami hal itu. Akhirnya, saya selalu mencari makan di warteg sederhana yang tersebar di sudut kota ini.
Sejak kuliah, warteg menjadi favorit makanan saya. Selain harganya yang murah, jenis masakan yang disajikan cukup lengkap dan terpenting selalu tersedia berbagai macam sayuran seperti lodeh, sop, bayam, pare, kangkung, pecel, oseng-oseng wortel dan buncis.
Kalau dihitung, sudah cukup banyak warteg yang saya datangi. Akan tetapi dari sekian banyak warteg, terdapat salah satu warteg favorit yang letaknya berada cukup jauh dari tempat tinggal saya.
Sekilas terlihat dari luar, warteg itu hampir sama dengan warteg makanan pada umumnya. Pengunjung yang datang pun beranekaragam, namun yang paling mendominasi adalah para pekerja kasar seperti buruh bangunan, tukang becak, penjual es batu keliling, pekerja bengkel, pemulung, pengamen jalanan, hingga orang-orang setengah dua belas menyempatkan diri untuk sejenak menyandarkan punggung dan makan di warteg tersebut.
Pemilik sekaligus penjual warteg itu bernama Bu Mun. Perawakannya yang gempal seakan menunjukkan bahwa beliau dulunya seorang pekerja keras. Setiap pagi, di warteg sederhana berlatar belakang rentetan bungkus minuman yang beranekaragam, Bu Mun sudah siap menunggu para pengunjung datang untuk menyantap berbagai macam menu makanan yang tersedia. Saat berjualan, Bu Mun tidak sendiri, ia ditemani satu orang pembantu yang berfungsi untuk meracik minuman dan mencuci peralatan masak.
Suatu ketika, tidak ada sarapan pagi di rumah. Setelah mengantar ibu berangkat bekerja, kupacu laju sepeda motor menuju warteg Bu Mun. Pagi itu, saya makan pecel dan ayam goreng ditemani secangkir teh hangat. Sangat nikmat.
Sembari melahap ayam goreng, sesekali Bu Mun menanyakan kabar. “Piye, sehat ta le? atau Piye kerjoan e, lancar?” Saya pun menimpali pertanyaan tersebut. Mengalir apa adanya.
Makanan telah habis, saya tenggak dalam-dalam teh hangat lalu mengambil sebatang rokok sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Sambil menikmati anugerah yang Tuhan berikan, tiba-tiba saya mendengar obrolan ringan soal toleransi beragama.
Berawal dari seorang bapak yang duduk di samping saya menceritakan sikap toleransi beragama di wilayahnya kepada Bu Mun. Awalnya saya tidak terlalu menggubris, namun lambat laun ada ungkapan yang membuat saya berpaling ketika Bu Mun berujar dengan wajah polosnya begini, “Semua agama itu mengajarkan kebaikan, saling menghormati dan menghargai. Tidak ada agama manapun yang mengajarkan kebencian. Kalau ada berita yang selalu membawa-bawa agama, biarkan saja. Semua kan tergantung bagaimana kita menyikapinya”. Kira-kira begitu ucapan Bu Mun sambil menatap wajah saya. Datar, tanpa ekspresi.
Usai mendengar pernyataan tersebut, saya tersenyum. Ya, tersenyum bukan karena terheran mendengar kalimat yang dilontarkan Bu Mun atau merendahkan beliau lewat perkataan yang diucapkan. Namun, dalam arti sesunggunya, hati dan pikiran saya tergelitik karena seorang Bu Mun ternyata memiliki pola pikir sederhana dan utuh dalam memahami toleransi beragama. Hal itu dibuktikkan lewat pernyataan sederhana yang diucapkan kepada saya dan salah seorang bapak tua. Bagiku, ucapan yang disampaikan Bu Mun benar adanya.
Seorang perempuan sederhana yang sehari-hari hanya berjualan nasi dan mungkin tidak terlalu hebat berbicara soal toleransi beragama, justru dapat memaknai secara utuh bagaimana cara berperilaku untuk menjaga kerukunan umat beragama sekaligus menyikapi konflik yang selalu membawa-bawa agama.
Lantas aku berpikir, belajar toleransi beragama nyatanya tidak perlu muluk-muluk seperti diskusi tak berujung, pamer teori dari ilmu pengetahuan yang sudah diterima atau bahkan sampai belajar ke negeri orang. Sebenarnya, cukup dari orang-orang sederhana seperti Bu Mun, kita bisa belajar tentang toleransi.
Sebelum mematikan rokok, saya sedikit berimajinasi. Seandainya semua umat manusia memiliki pola pikir sederhana yang sama seperti Bu Mun terkait konteks toleransi beragama, mungkin keberlangsungan hidup di dunia ini anyem-anyem saja. Bahkan lebih jauh, saya berpikir tidak ada dosa melainkan hanya ada kedamaian. Namun, sekali lagi itu hanyalah imajinasi. Saya matikan rokok lalu pamit kepada Bu Mun dan bapak tua tersebut. Jangan Lupa Sarapan Pagi!
Oleh : Dominikus Wempie Fernandez
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.112, Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar