Kemarin aku mengajak dua anak dari Menukung yang berada di panti
Benih Kasih, Kenjeran Surabaya pergi ke Cepu untuk bertemu teman-teman mereka
yang berada di Cepu. Sampai Cepu sudah jam 14 an. Setelah makan mie aku
mengajak anak-anak untuk berkumpul. Mereka berbagi pengalaman selama 2 tahun
lebih tinggal di Jawa. Dari sharing beberapa anak, aku melihat ada yang berubah
di dalam diri mereka. Ada seorang anak dari Serawai, yang mengatakan bahwa
sekolah disini bukan hanya agar dikatakan sekolah di Jawa, tetapi usaha untuk
mencapai sesuatu yang lebih baik lagi. Seorang anak dari Menukung, mengatakan
bahwa dia harus bangun pagi jam 4 lalu melakukan kegiatan doa, makan pagi,
berangkat ke sekolah naik sepeda. Seandainya selama 3 tahun itu keringat mereka
diperas mungkin dapat 1 ember. Tetapi dia merasa bangga bahwa semua itu demi
masa depan. Anak-anak banyak belajar sesuatu yang dapat mengubah hidup demi
masa depan.
Aku melihat bahwa anak-anak sudah mempunyai mimpi. Pada akhir
sharing-sharing mereka aku sedikit memberi masukan tentang patih Gajah Mada.
Dia bermimpi menyatukan Nusantara. Sebelum impian itu tercapai dia tidak akan
menikmati hidup. Atau lebih tekenal dengan Sumpah Palapa. Dia akhirnya mampu
menyatukan Nusantara, meski ada para ahli sejarah yang pro kontra mengenai
luasnya kerajaan Mojopahit. Tetapi bagiku yang terpenting Gajah Mada mempunyai
mimpi yang berusaha diwujudkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
Selama ini di Menukung maupun Serawai, banyak anak tidak mempunyai
mimpi. Bahkan orang dewasa pun tidak mempunyai mimpi. Mereka menjalani hidup
dari hari ke hari ya seperti itu. Istilah disini dari itu ke itu. Banyak anak
jika ditanya apa cita-citanya? Jawabnya hampir sama yaitu membahagiakan orang
tua. Bagiku itu bukan mimpi. Itu konsekwensi sebagai anak. Maka sekolahpun
tidak tahu untuk apa. Setelah lulus bahkan ada juga yang belum lulus segera
nikah. Orang tua bahagia sebab punya cucu. Tetapi apakah itu cukup? Ada orang
mengambil S1 tapi entah untuk apa pengetahuannya. Hanya bangga ada gelar di
belakang namanya. Bagiku ini menunjukkan mereka tidak mempunyai mimpi, sehingga
tidak mempunyai tahap demi tahap mewujudkan mimpi. Membuat kegiatan hanya demi
kegiatan tanpa tahu mau kemana arahnya, sebab tidak mempunyai mimpi yang akan
diraih.
Membongkar pemikiran agar mempunyai mimpi dan usaha untuk meraih
mimpi sangat perlu dilakukan. Seorang teman mengatakan sebaiknya dimulai dari
para orang tua yaitu pengambil keputusan, para imam, pejabat pemerintahan dan
sebagainya. Mereka diajak beranalisa sosial, untuk memahami masalah dan
berusaha mengubah. Tetapi aku berpikir mulai dari anak-anak, sebab mereka masih
mudah diubah. Ternyata anak-anak di Cepu dan Surabaya sudah mulai mempunyai
mimpi. Mereka tahu apa arti perjuangannya saat ini.
Semoga anak-anak ini akan menjadi pembaharu di masyarakat. Mereka
membangun mimpi dan ingin mewujudkan mimpinya. Meski saat ini harus bersusah
payah dan menangis, tetapi mereka mulai sadar ada sesuatu yang hendak
diraihnya. Ada mimpi yang hendak mereka wujudkan. Bukan pasrah seperti beruang
kutub yang tidur selama musim dingin. Atau seperti kupu-kupu yang bersembunyi
dalam kepompongnya. Sudah saatnya harus mulai keluar dari kepompong dan
mengepak terbang.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi no. 98, Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar