Arloji di pergelangan tangan kananku saat itu menunjukkan angka 17.00, Waktu Kota Blitar, Jawa Timur. Warna cakrawala mulai memerah. Itu pertanda sang senja hendak menyapa.
Masih ada waktu bagiku sekitar 60 menit untuk berangkat ke titik kumpul yakni sebuah Gereja Katolik yang berada di Kota Blitar, Jawa Timur.
Kebetulan hari itu bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri. Aku sudah berjanji dengan sebagian rekan-rekan muda di sana untuk bersilaturahmi ke rumah salah seorang tokoh dari kelompok organisasi keagamaan yang berada di daerah Blitar.
Setelah menunggu dengan menghabiskan berbatang-batang rokok, akhirnya satu demi satu teman-teman muda datang. Total ada sembilan belas orang yang hendak bepergian.
Rombongan kami pun terbagi menjadi dua. Sebagian besar berangkat naik mobil, sisanya berboncengan dengan sepeda motor. Butuh waktu tempuh sekitar 20-30 menit dari tempat kami berkumpul untuk bisa tiba di tujuan.
Kala itu aku berboncengan dengan Frater Rinto (26), seorang rohaniwan muda. Lelaki yang lahir seminggu lebih awal dari waktu kelahiranku ini pun menyalakan kuda besi berwarna biru yang akan kami tunggangi.
Aku duduk di jok belakang, sedangkan si Frater bertindak sebagai pengemudi. Dia mulai memuntir gas dan secara bersamaan melepas kopling di tangan kirinya dengan perlahan. Bersama dengan rombongan sepeda motor yang lain, kami pun meluncur menuju lokasi.
Jalanan cukup ramai malam itu, namun lalu lintas masih terlihat lancar. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar warga dari kota besar yang tampaknya masih menikmati momen lebaran di kota kecil ini. Kampung halamannya.
Selama dalam perjalanan hawa dingin terus sibuk menembus jaket tebal yang melekat pada tubuhku. Namun saat aku coba beradaptasi dengan hawa dingin, lelaki di depanku tampak tenang-tenang saja. Padahal ia tak mengenakan baju hangat atau semacamnya. "Mungkin ia sudah terbiasa," dugaanku.
Untuk mengalihkan hawa dingin, aku coba berkomunikasi dengan si rohaniwan muda ini. "Ter, sekarang siapa cewekmu?" Tanyaku mengusili pria kelahiran Flores itu.
"Hei, pertanyaan macam apa itu? Seharusnya pertanyaan itu kamu sendiri yang jawab Mas. Hayo, sekarang kamu yang jawab." Sahutnya dengan nada tinggi.
"Sedang proses," jawabku dengan tersendat-sendat. Sontak aku terheran, lantaran pertanyaan yang awalnya aku berikan padanya malah menjadi bumerang.
"Proses apa lagi ha?" Sahut si Frater.
"Hidup itu adalah proses perjalanan. Perjalanan karier, perjalanan cinta, semua termasuk perjalanan hidup. Hidup dengan berproses, proses yang berjalan. Itu perjalanan hidup," kilahku.
Si Frater pun menanggapi. "Bro, kamu benar, tapi kamu juga harus ingat. Hidup bukan melulu tentang perjalanan proses, namun juga jangan lupa untuk berhenti sejenak, lalu melihat kembali, memahami dan memaknai. Sudahkah kamu sampai ke perhentian?"
Mendengar tanggapan si Frater mendadak diriku membisu dalam suasana malam itu. Seketika aku pun ingin merenung serta bersedia mendengarkan kata demi kata yang terucap dari bibirnya.
Ia melanjutkan tanggapannya sembari tetap fokus mengemudi. "Jika belum, ada baiknya kamu menentukan titik perhentian lalu melihat kembali apa saja yang sudah terjadi, memahami mengapa hal itu terjadi, lalu memaknainya sebagai hasil dari pembelajaran hidupmu. Lalu, lanjutkan lagi perjalananmu. Begitu terus berulang-ulang."
Mendengar ucapan itu, kali ini aku hanya mengangguk-anggukan kepala memberi isyarat paham.
Aku mengira cuma sampai di situ, ternyata ia masih melanjutkan celotehnya. "Kebanyakan teman-teman juga begitu. Mereka hanya melihat, mendengar, merasakan, dan melakukan perjalanan hidupnya begitu saja. Itu bagus, tapi sayangnya mereka juga lupa untuk memahami dan memaknai hidupnya, sehingga yang terjadi sering kali mereka mengeluhkan tentang kegagalan, kekecewaan, rendah diri, dan segala macam perasaan negatif lainnya. Coba saja mereka mau berhenti sejenak dan merenungkan hidupnya, mau memahami maksud Tuhan dan memaknainya, pasti yang ada adalah rasa syukur dan mereka mendapat hasil yang bermakna." Pungkasnya sebelum kami berdua tiba di lokasi.
Dengan berbekal tulisan ini, sejujurnya aku hendak mengirimkan sebuah pesan untuk si Frater. Aku tak acuh pesan ini kelak akan sampai padanya atau tidak.
Aku hanya ingin menyampaikan beribu-ribu terima kasih padanya. Karena petuahnya cukup sakti hingga mampu membuat diriku diingatkan untuk tetap berefleksi. Berefleksi untuk berhenti sejenak memberi makna dalam setiap proses perjalanan hidup di dunia ini.
Jika kami berdua bisa berkendara bersama lagi di lain kesempatan, biarkan aku yang berada di posisi sebagai pengemudi kuda besi yang hendak kami tunggangi. Karena akan aku ceritakan padanya, hasil refleksi dari petuah saktinya di masa lampau.
Oleh : Christian Hadi Winjaya
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.115, Januari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar