Perjalananku diawali naik kapal Dharma Kartika IX. Aku mendapat tiket kelas ekonomi. Tempat tidur di kelas ekonomi berupa satu papan panjang dan disekat hanya bagian kepalanya saja. Jadi seperti pindang di jejer-jejer. Dapat makan dua kali, pagi dan siang. Ruangan ber AC jadi lumayan untuk sesaat menjadi beruang kutub yang sedang hibernasi.
Bosan meringkuk aku duduk di teras kapal. Ngobrol dengan berbagai macam orang. Ada sekelompok anak muda dari Makasar yang akan berjualan hasil kerajinan. Ada sekelompok pemuda dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang akan bekerja di perkebunan sawit. Ada bapak-bapak yang sudah lama bekerja di penambangan batu bara. Ada petani dari Kediri yang hidup bertani di Plaihari sekarang dia membawa mobil untuk disewakan ke perkebunan sawit. Menurutku yang paling lucu adalah seorang bapa yang umurnya sekitar 60 tahunan. Dia bercerita panjang lebar bahwa dia dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Di Jawa dia merasa kurang berhasil maka akan mencoba peruntungan di Kalimantan. Saya tanya dia belajar darimana? Dia menceritakan kalau dia belajar sendiri. Sejak SMP dia sudah sering meditasi. Dia bertanya apakah aku pernah membaca buku Kho Ping Ho? Aku jawab tidak pernah. Dia bercerita bahwa dia belajar dari buku itu dan sudah mencapai tingkatan ke sembilan dalam hal midatasi. Mendengar itu aku hanya memasang wajah serius dan penuh kagum.
Di kelas ekonomi ini banyak orang ingin terlihat hebat dan mendapat tepukan tangan. Karena mungkin dalam hidup sehari-hari mereka adalah orang yang kalah. Orang yang tersisihkan dan tidak diperhitungkan. Disini mereka menjadi orang yang tidak dikenal oleh lingkungan. Mereka dapat bebas menceritakan impiannya. Sejenak mereka dapat mengubah dirinya seperti orang yang ada dalam impiannya. Ketika aku mengeluarkan kotak tembakau, beberapa orang menatapku. Seorang pemuda dari Jawa Barat menawari rokoknya. Mungkin kasihan melihatku melinting tembakau. Aku jawab terima kasih. Rokok dapat menjadi ukuran diri. Menunjukkan gengsi seseorang. Aku tetap menikmati melinting tembakauku meski dianggap ndeso dan miskin. Bagiku merokok ya merokok bukan soal gengsi atau prestise.
Di sekitar kita juga banyak orang yang hidup dalam mimpi. Mimpi seolah anak bangsawan. Mimpi seolah seorang sangat berpengaruh. Mimpi seolah seorang cerdik pandai atau menguasai berbagai bahasa asing dan sebagainya. Terkadang hal itu dapat membuat orang berdecak kagum bahkan memuji-mujinya. Tetapi tidak jarang menjadi bahan tertawaan banyak orang. Ibaratnya bersikap seolah-olah singa ternyata kenyataannya hanya kucing kurap.
Hidup memang harus mempunyai impian, tetapi bukan hidup dalam impian. Menerima realita memang terkadang pahit dan menyakitkan. Tetapi itulah realita yang tidak mudah bahkan mungkin tidak mampu kita buang. Harus kita terima dan jalani. Bahkan mungkin kita syukuri. Bukan berontak yang akan menyakitkan diri, tetapi mencari cara bagaimana dapat meraih impian. Selain itu hidup bukan mencari tepukan tangan orang lain. Tetapi hidup adalah bagaimana kita bertepuk tangan atas apa yang kita miliki dan kita capai. Orang lain hanyalah penonton yang akan bertepuk tangan bila kita mampu menjadi seperti yang mereka inginkan atau menyenangkan mereka. Akibatnya kita memakai topeng-topeng. Semakin banyak penonton semakin banyak topeng yang kita pakai. Semakin banyak topeng, semakin berat hidup kita. Lepaskan topeng dan jadilah diri kita sendiri apa adanya.
Sebagai imam pun tidak jarang aku hidup dalam impian. Bukan mempunyai mimpi yang akan diwujudkan. Aku merasa sebagai imam yang hebat. Dicintai banyak umat. Imam yang mengubah ini dan itu. Imam yang mempunyai karunia-karunia hebat. Padahal dalam kenyataannya aku hanyalah imam biasa dengan segala kelemahan. Aku membayangkan seperti singa ternyata hanya seekor kucing.
Untuk itu aku harus bercermin apakah mimpiku? Apakah sebagai seorang imam aku tidak mempunyai impian? Jika tidak mempunyai impian berarti hidupku sudah mencapai final. Tidak ada yang ingin aku raih dan wujudkan lagi. Jika demikian aku hidup hanya mengalir tanpa tujuan. Lebih baik kapal ini yang berjalan dalam kegelapan malam tetapi masih mempunyai tujuan yang akan dicapai. Kutatap beberapa kawan seperjalanan yang masih tenggelam dalam obrolan yang fantastis. Kusedot lintinganku sambil menikmati secangkir kopi sachetan.
Oleh : Rm. Yohanes Gani CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 126, Desember 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar